Rabu 07 Sep 2022 05:09 WIB

Kisruh Migor VS Sengkarut Kenaikan BBM: Akankah Kejaksaan Mencari Tersangka?

Apakah ada keadilan hukum dalam kenaikkan harga BBM?

Red: Muhammad Subarkah
Nelayan memperbaiki perahu di kawasan Cemandi, Sedati, Sidoarjo, Jawa Timur, Selasa (6/9/2022). Nelayan di wilayah itu memilih untuk sementara tidak melaut karena adanya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis solar subsidi dari Rp5.150 per liter menjadi Rp 6.800 per liter.
Foto: ANTARA/Umarul Faruq
Nelayan memperbaiki perahu di kawasan Cemandi, Sedati, Sidoarjo, Jawa Timur, Selasa (6/9/2022). Nelayan di wilayah itu memilih untuk sementara tidak melaut karena adanya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis solar subsidi dari Rp5.150 per liter menjadi Rp 6.800 per liter.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Darmawan Sepriyossa, mantan jurnalis Republika.

Pada Sabtu (3/9/2022) lalu Presiden Jokowi mengumumkan kenaikan harga BBM. Beberapa jenis mengalami kenaikan yang signifikan. Pertalite dari Rp 7.650 per liter jadi Rp 10.000 ribu per liter, Solar subsidi dari Rp 5.150 per liter jadi Rp 6.800 per liter dan Pertamax non subsidi dari Rp 12.500 per liter jadi Rp 14.500 per liter. 

Sebelum mengumumkan kenaikan harga BBM, Jokowi tak menutup rapat-rapat beleidnya itu.  Bulan lalu, dalam acara Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat di Sentul, Presiden sudah mengeluarkan sinyal. “Harga BBM kita paling murah dibandingkan dengan negara lain. Kita lihat sekarang di Amerika harga bensin sudah Rp19.400, di Singapura harga bensin sudah Rp33 ribu,” ujar Jokowi, ‘lurus bin lempeng’.

Alhasil. Selama sebulan itu wacana kenaikan harga BBM sebetulnya sudah riuh rendah mengisi jagad berita, baik di media massa maupun media sosial kita. Selama itu pula, kita juga membaca banyaknya terjadi kelangkaan BBM di beberapa daerah, diselang-selingi adanya temuan penimbunan BBM jenis Pertalite di beberapa wilayah. 

Baca juga : Tangis Puan di Era SBY dan Dalih PDIP Sekarang

Lalu begitu harga BBM secara resmi naik, terjadi ledakan demonstrasi massa di berbagai kota, baik itu massa mahasiswa, buruh dan kaum urban. Mereka terkejut, lalu takut. Baru saja pandemic menghancurkan sendi-sendi ekonomi mereka, eh, manakala lutut baru saja berupaya tegak, tiba-tiba penguasa menaikkan harga BBM. Bagi mereka, itu perbuatan semena-mena dan sok kuasa. Demo jalanan pun jadi pilihan. 

Bersamaan dengan itu, tampaknya berhujjah sebagai kepedulian dan pertolongan bagi kalangan kurang mampu, pemerintah juga mengumumkan untuk memberikan bantuan sosial alias Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang selama ini kita kenal, sebesar Rp 600 ribu bagi 20,6 juta penduduk. Total BLT yang akan disalurkan kepada para warga tak mampu itu sekitar Rp 12 triliun. 

Awal tahun hingga sekitar tiga bulan lalu, Indonesia dilanda huru-hara kelangkaan minyak goreng (migor). Sebagaimana BBM selama tiga pekan kemarin, berbulan-bulan migor langka. Kalau pun ada, harganya meroket sebagaimana janji politisi tentang masa depan ekonomi Indonesia. Rakyat panik, lalu gusar. Lalu turunlah mereka bersama para mahasiswa, buruh dan kaum urban ke jalan dalam bentuk demonstrasi massa. Jelas, saat itu ada tensi amarah dan gerah yang naik di masyarakat. Lalu, lima orang pun ditangkap, tiga di antaranya orang partikelir alias swasta dari perusahaan migor. 

Pekan lalu, dalam sidang pertama yang mulai digelar, mereka dituduh  dengan dakwaan melakukan korupsi minyak goreng. Disebutkan, kelima terdakwa itu—dua lainnya, seorang mantan dirjen di Kemendag dan seorang konsultan partikelir yang suka cawe-cawe di kementerian--melakukan tindak pidana korupsi dalam melakukan pengurusan Persetujuan Ekspor (PE) dengan kerugian negara sebesar Rp 18 triliun. Dalam tuduhan disebutkan, Rp 6 triliun di antaranya merupakan “kerugian keuangan negara karena pemerintah akibat kelangkaan itu harus memberikan BLT kepada 20,6 juta warga kurang mampu akibat langkanya migor dan melesat tingginya harga. 

Baca juga : Hasto: Jokowi Tahu Dampak Kenaikan BBM ke Rakyat karena Sering Blusukan

Ada pun kenaikan harga dan kelangkaan migor itu, menurut jaksa penuntut umum, disebahkan adanya proses PF, akibat tiga orang terdaksa dari grup perusahaan minyak goreng itu tidak menjalankan proses distribusi dengan benar “dan atau memanipulasi dokumen DMO (Domestic Market Obligation)”.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement