Kamis 08 Sep 2022 01:47 WIB

Perkawinan Dini Penyebab Kecacatan Anak dan Ibu Osteoporosis

Kepala BKKBN ingatkan ada risiko kesehatan yang mengancam pada perkawinan dini

Rep: Antara/ Red: Christiyaningsih
Kepala BKKBN ingatkan ada risiko kesehatan yang mengancam pada perkawinan dini. Ilustrasi.
Foto: MGROL100
Kepala BKKBN ingatkan ada risiko kesehatan yang mengancam pada perkawinan dini. Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengecam pihak yang melakukan perkawinan dini pada anak karena menjadi faktor utama penyebab kecacatan anak dan ibu mengalami osteoporosis.

"Angka pernikahan dini di Indonesia semakin hari terus meningkat jumlahnya. Hal ini tentunya tidak sejalan dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 yang melarang terjadinya pernikahan di bawah umur," kata Kepala BKKBN Hasto Wardoyo dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (7/9/2022).

Baca Juga

Osteoporosis merupakan proses terjadinya pengeroposan tulang di dalam tubuh. Kebanyakan osteoporosis terjadi saat seseorang memasuki usia tua (lansia).

Namun, kata Hasto, osteoporosis juga berisiko terjadi pada perempuan di usia remaja. Perkawinan dini membuat seorang anak perempuan harus mengandung dan melahirkan pada usianya yang belum dapat dikatakan matang.

Secara anatomi tubuh, tulang remaja terus mengalami pertumbuhan sampai dengan usia 20 tahun. Perkawinan dini yang membuat anak harus hamil di usia 16-18 tahun mengakibatkan tulang berhenti tumbuh dan mempercepat proses osteoporosis. Osteoporosis terjadi juga dikarenakan bayi yang berada dalam kandungan merebut kandungan kalsium yang masih dibutuhkan oleh sang ibu.

"Jika perempuan perempuan yang hamilnya terlalu muda tulangnya tidak kuat dan cenderung pendek kemudian keropos, tentu bayinya tidak sehat atau stunting. Jangan hamil di usia yang terlalu muda karena pertumbuhan masih terjadi," kata Hasto.

Menurutnya, perebutan gizi dan kalsium dapat berdampak pada kualitas anak karena memperbesar potensi terjadinya kekerdilan (stunting) hingga kecacatan sejak dalam kandungan. Akan tetapi, Indonesia belum memiliki kebijakan seperti di negara maju yang mampu menciptakan sumber daya manusia unggul melalui pemeriksaan plasenta. Negara-negara maju itu menggunakan plasenta untuk mengetahui kualitas anak yang akan dilahirkan.

Jika diketahui bayi tersebut tidak berkualitas atau cacat, maka orang tua berhak melakukan terminasi atau aborsi. Namun karena Indonesia belum sampai ke tahap itu, sangat penting mendorong pengetahuan prakonsepsi di kalangan remaja agar setiap kehamilan direncanakan.

"Kita pro-life bukan pro-choice. Oleh karena itu hamil harus dirawat, harus betul-betul dipertahankan kecuali mengancam jiwa. Itulah makanya adik-adik harus disiapkan betul karena kita tidak mengenal menyeleksi bayi yang tidak bagus diaborsi, tidak mengenal sama sekali," katanya.

Apalagi pertumbuhan bayi di dalam rahim sangat cepat. Hanya dalam waktu delapan minggu, anatomi tubuh bayi sudah terbentuk dari kepala sampai kaki. Saat itulah vitamin, tablet tambah darah, dan penerapan hidup sehat lainnya sangat dibutuhkan agar anak tidak terlahir cacat.

Walaupun demikian, Hasto optimistis Indonesia akan memiliki generasi masa depan yang bebas stunting, sehat, dan berdaya saing. "Saya berharap agar generasi masa depan bisa merencanakan kehamilan mereka. Tidak ada lagi pernikahan muda, terlalu tua lebih dari 35 tahun, sering hamil terlalu dekat jaraknya, dan jangan terlalu banyak hamil," kata Hasto.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement