REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai industri keuangan belum membutuhkan platform metaverse pada layanan nasabah. Hal ini dianggap terlalu riskan jika otoritas memberikan izin layanan keuangan pada metaverse.
Kepala Grup Inovasi Keuangan Digital OJK Triyono mengatakan otoritas belum memiliki bayangan dan konsep yang jelas mengenai metaverse pada lembaga keuangan.
"OJK belum ada bayangan untuk membuka lembaga keuangan metaverse, karena metaverse sebuah kehidupan maya dan belum jelas," ujarnya saat journalist class, Rabu (7/9/2022).
Menurutnya platform Metaverse hanya bisa menjadi wadah bagi customer service center dan alat pemasaran. Adapun inovasi keuangan digital perlu diatur guna mengedepankan perlindungan konsumen, memfasilitasi pengembangan infrastruktur digital yang efektif dan efisien, serta penguatan regulasi dan pengawasan untuk mencegah disrupsi.
"Pada umumnya layanan keuangan membutuhkan transaksi, pelaku, dan currency. Kalau tidak ada currency (metaverse), tidak ada transaksi di sana," ucapnya.
Triyono melanjutkan, konversi uang metaverse nantinya berujung pada penukaran mata uang biasa. Namun, layanan keuangan metaverse belum masuk ke dalam business model outlook OJK.
"Pembahasan aset kripto saja masih tabu. Seberapa cepat diadopsi oleh pemerintah, akan menentukan ke langkah-langkah selanjutnya," ucapnya.
Dalam business model outlook, Triyono menyebut pengaturan penyimpanan aset digital khususnya aset kripto berada di ranah Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti).