REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menyampaikan pertumbuhan kinerja BUMN pada 2020 dan 2021 di tengah kondisi pandemi covid-19. Dalam satu bulan ke depan, Kementerian BUMN untuk pertama kalinya sepanjang sejarah akan menerbitkan laporan BUMN secara konsolidasi.
Sebagai gambaran awal, Erick mengatakan transformasi BUMN yang didukung Komisi VI DPR memperlihatkan hasil dari sisi perbaikan kinerja secara menyeluruh.
"Kalau kita lihat dari total aset kita tumbuh dari Rp 8.312 triliun pada 2020 menjadi Rp 8.978 triliun pada 2021 atau naik delapan persen. Lalu pendapatan usaha, Alhamdulillah dari Rp 1.930 triliun naik 19 persen menjadi Rp 2.292 triliun, artinya ini mirip dengan situasi sebelum covid, jadi sudah kembali normal secara penjualan," ujar Erick saat rapat kerja (raker) dengan Komisi VI DPR di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (8/9).
Erick melanjutkan, laba bersih BUMN secara konsolidasi juga meningkat sangat signifikan dari Rp 13 triliun pada 2020 menjadi Rp 125 triliun pada 2021. Dengan efisiensi dan perbaikan bisnis model, Erick berharap laba bersih pada 2022 akan mencapai Rp 144 triliun.
Selain itu, Erick juga memaparkan bahwa total utang pendanaan konsolidasi BUMN pada 2021 sebesar Rp 1.580 triliun atau hanya 36 persen dari investasi tertanam (modal ekuitas plus utang pendanaan) pada BUMN dengan Rp 4.358 triliun.
"Jadi kondisinya sehat. Kita memang memfokuskan utang pendanaan investasi karena kita ingin memastikan bahwa utang-utang ini punya return atau pengembalian yang baik. Utang pendanaan terhadap EBITDA ini juga bisa kita lihat menurun dari rasio 4,26 ke 3,37," ucapnya.
Semakin rendah angka rasio utang terhadap EBITDA, maka semakin tinggi kemampuan perusahaan untuk membayar utang. Sementara realisasi dividen pada tahun anggaran 2022 sudah mencapai Rp 39,7 triliun atau lebih besar daripada target awal yang sebesar Rp 36,4 triliun. Erick menargetkan setoran dividen BUMN terus meningkat menjadi Rp 43,3 triliun pada 2023.
"InsyaAllah kita coba melakukan efisiensi, efektivitas, dan perbaikan model bisnis. Untuk dividen 2023 kita akan naik ke Rp 43,3 triliun dan kita optimistis di 2024 pun akan lebih dari Rp 43 triliun, jadi ada kenaikan yang berjenjang dan kalau kita lihat Rp 43,3 triliun ini angka sebelum covid. Jadi dengan segala yang kita lakukan, baik penutupan, merger dan lain-lain, kita bisa lihat angkanya sudah mulai kembali seperti sebelum covid," kata Erick.