REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri, Brigjen Andi Rian Djajadi menjelaskan alasan tidak diungkapkannya kepada publik hasil pemeriksaan uji kebohongan atau Poligraf terhadap Putri Candrawathi, tersangka pembunuhan Brigadir J. Diketahui, Putri mengaku diperkosa Brigadir J saat diperiksa Komnas HAM dan Komnas Perempuan.
"Saya melihat justru analisis liar dari media dan pengamat yang tidak paham teknis pascapelaksaaan uji poligraf," kata Andi saat dikonfirmasi melalui pesan instans di Jakarta, Kamis (8/9/2022).
Penyidik Dittipidum Bareskrim Polri melakukan pemeriksaan menggunakan uji poligraf terhadap tersangka pembunuhan Brigadir J. Pemeriksaan dimulai pada hari Senin (5/9/2022) untuk tersangka Bripka Ricky Rizal dan Kuat Maruf.
Pemeriksaan uji poligraf kembali diagendakan pada Selasa (6/9/2022) dengan terperiksa Putri Candrawathi dan saksi Susi. Kemudian, Kamis (8/9/2022), diperiksa Irjen Ferdy Sambo. Sedangkan untuk tersangka Bharada Richard Eliezer sudah lebih dahulu dilakukan uji poligraf di Bareskrim Polri.
Andi pernah mengungkapkan, hasil uji poligraf terhadap Bharada Richard Eliezer, Bripka Ricky Rizal, dan Kuat Maruf adalah no deception indicated atau keterangan yang disampaikan kepada penyidik jujur. Berbeda dengan hasil pemeriksaan mereka, penyidik tidak mengungkapkan hasil uji poligraf Putri Candrawathi dan Susi.
Menurut Andi, semua fakta yang diperoleh dari penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik Dittipidum Bareskrim Polri akan diungkapkan di persidangan. "Toh juga semua fakta akan diungkap di pengadilan," kata Andi yang juga Ketua Tim Penyidik Tim Khusus bentukan Kapolri.
Andi mengamini apa yang disampaikan Kepala Divisi Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo terkait standarisasi dan aturan yang melekat dalam pelaksanaan uji poligraf. Ia juga memahami rasa ingin tau publik yang besar terhadap pengungkapan kasus ini.
"Tidak akan ada kepuasan publik, apalagi analisis liar berkembang terkait pelaksanaan uji poligraph," terangnya.
Irjen Dedi Prasetyo sebelumnya menyampaikan, hasil pemeriksaan menggunakan Lie Detector atau uji poligraf adalah untuk penegakan hukum (pro justicia) yang hanya disampaikan kepada penyidik. Ada persyaratan yang sama dengan Ikatan Dokter Forensik Indonesia yang wajib dipatuhi. Poligraf juga memiliki ikatan (perhimpunan) secara universal yang berpusat di Amerika.
Puslabfor memiliki alat Poligraf yang sudah terverifikasi dan tersertifikasi baik itu ISO maupun perhimpunan poligraf di dunia. Puslabfor Polri memiliki alat poligraf buatan Amerika tahun 2019 memiliki tingkat akurasi 93 persen. Dengan syarat akurasi 93 persen, maka hasilnya bisa digunakan untuk penegakan hukum.
"Kalau (hasil ujinya) di bawah 90 persen tidak masuk ke dalam ranah pro justicia," kata Dedi.
Kemudian, penyidik yang punya hak untuk mengungkapkan kepada media atau tidak, termasuk penyidik juga bisa menyampaikan-nya di persidangan. "Karena poligraf tersebut bisa masuk dalam Pasal 184 KUHAP (tentang alat bukti yang sah menurut sistem peradilan pidana) ya alat bukti, selain petunjuk juga termasuk dalam keterangan ahli," kata Dedi.
Dedi mengatakan, penggunaan hasil uji kebohongan itu pernah digunakan dalam kasus mutilasi anggota DPRD Lampung M Pansor pada Oktober 2016. Saat itu, jasad Pansor dibuang ke Sumatera Selatan.
"Ya jelas bisa kan keterangan ahli orang yang berkompeten akan sampaikan hasilnya di sidang. lihat kasus mutilasi korban anggota DPRD di Sumsel hasil lie detector disampaikan sebagai keterangan ahli sesuai Pasal 184 KUHAP," kata Dedi.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana mengatakan hasil pemeriksaan uji poligraf dapat digunakan di persidangan sepanjang mendukung pembuktian. "Sepanjang mendukung pembuktian semua bisa jadi alat bukti petunjuk dan menjadi alat bukti," kata Ketut.