REPUBLIKA.CO.ID, PYONGYANG -- Korea Utara (Korut) membarui Undang-Undang (UU) yang memungkinkan untuk melakukan serangan nuklir preventifnya. Media pemerintah, Korean Central News Agency (KCNA) melaporkan pada Jumat (9/9/2022) bahwa UU tersebut berkekuatan untuk memulai serangan sebagai bentuk tindakan membela diri.
"UU akan memungkinkan Korut untuk melakukan serangan nuklir preventif secara otomatis dan segera untuk menghancurkan kekuatan musuh ketika negara asing menimbulkan ancaman langsung ke Pyongyang," lapor KCNA seperti dikutip laman Time of Israel, Jumat.
Pemimpin Korut Kim Jong-un juga menyatakan bahwa status Korut sebagai negara bersenjata nuklir tidak dapat diubah. "Dengan undang-undang yang baru diberlakukan, status negara kita sebagai negara senjata nuklir telah menjadi tidak dapat diubah lagi," ujar Kim.
Kim Jong-un juga secara terbuka menyatakan tekadnya untuk tidak menyerahkan senjata nuklir negaranya. Ia menuduh Amerika Serikat (AS) mencari keruntuhan rezimnya, bukan hanya denuklirisasi.
Dia menjelaskan bahwa Pyongyang tidak berniat melanjutkan negosiasi untuk denuklirisasi karena parlemen Korut menyetujui kebijakan kekuatan nuklir baru selama sesi kunci pertemuan Majelis Rakyat Tertinggi (SPA) pada Kamis (8/9/2022) waktu setempat. "Tujuan AS bukan hanya untuk menghilangkan senjata nuklir kita sendiri tetapi juga pada akhirnya untuk menjatuhkan rezim kita kapan saja dengan memaksa (Korut) untuk meletakkan senjata nuklir dan menyerahkan atau melemahkan kekuatan untuk melakukan pertahanan diri," kata Kim dikutip laman Yonhap, Jumat.
Pada Juli lalu, Kim membuat pernyataan bahwa negaranya siap untuk memobilisasi kemampuan nuklirnya dalam perang apapun dengan AS dan Korea Selatan (Korsel). Pembicaraan nuklir dan diplomasi antara Washington dan Pyongyang telah tergelincir sejak 2019 karena keringanan sanksi dan apa yang bersedia diserahkan Pyongyang sebagai imbalannya. "Sama sekali tidak ada yang namanya menyerahkan senjata nuklir terlebih dahulu, dan tidak ada denuklirisasi dan tidak ada negosiasi," tegas Kim.
Menurut peneliti dari Pusat Studi Korut di Institut Sejong, Cheong Seong-chang, UU baru menunjukkan keyakinan Kim pada kompetensi nuklir sekaligus militer negaranya, termasuk rudal balistik antarbenua yang mampu menjangkau AS. "Undang-undang tersebut secara terbuka membenarkan penggunaan tenaga nuklir Pyongyang jika terjadi bentrokan militer, termasuk dalam menanggapi serangan nonnuklir," kata Cheong.
Kendati demikian, Kim terus menerus akan memperluas ruang lingkup operasi nuklir taktisnya untuk meningkatkan postur tempur nuklirnya. Kim kemudian menekankan bahwa melegalkan kebijakan senjata nuklir memiliki signifikansi besar dalam menarik garis yang tidak dapat diperbaiki sehingga tidak dapat lagi tawar-menawar dengan tenaga nuklirnya.
"Kondisi politik dan militer Semenanjung Korea, serta lingkungan politik global, harus berubah agar ada penyesuaian kebijakan nuklir Korut," kata Kim. Sementara itu, Presiden Korea Selatan (Korsel) Yoon Suk-yeol mengatakan pada bulan lalu, bahwa pemerintahannya tidak memiliki rencana untuk mengejar penangkal nuklirnya sendiri.