REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Perdagangan menyatakan, sengketa larangan ekspor bijih nikel Indonesia yang tengah berproses di Badan Perdagangan Dunia (WTO) masih terus berlanjut. Pemerintah siap mengajukan banding jika nantinya menghadapi kekalahan.
Direktur Jenderal Perundingan Perjanjian Internasional, Kemendag, Djatmiko Bris Witjaksono, menjelaskan, pemerintah pun telah menyiapkan berbagai antisipasi dalam menghadapi keputusan WTO.
"Proses litigasi di WTO masih berjalan dan masih ada berbagai skenario lanjutan, termasuk banding," kata Djatmiko kepada Republika.co.id melalui pesan singkat, Jumat (9/9/2022).
Soal kemungkinan Indonesia mengalami kekalahan, Djatmiko enggan mengomentari. Ia menyebut, kemenangan bagi Indonesia dalam sengketa pun masih terbuka.
"Saya tidak bisa komentar, masih berproses, menang juga masih mungkin," kata dia.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengatakan, sejumlah langkah dapat dilakukan pemerintah untuk memperkuat posisi Indonesia di pasar global demi mempertahankan kebijakan larangan ekspor nikel.
Langkah utama, menurut Bhima, pemerintah harus dapat mendorong peningkatan porsi investor domestik, terutama BUMN dalam menyerap hasil produksi bijih nikel.
Penyerapan secara besar-besaran oleh pasar dalam negeri akan berdampak pada menipisnya ketersediaan cadangan bijih nikel.
"Meski Indonesia kalah di WTO, namun ketersediaan bijih nikel terbatas dan memacu pelaku usaha di Eropa melakukan relokasi hilirisasi ke Indonesia, misalnya lewat kerja sama dengan BUMN" kata dia.
Bhima mengatakan, BUMN seharusnya mampu dikerahkan untuk mengoptimalisasi penyerapan bijih nikel. Kerja sama dengan pihak swasta untuk membentuk perusahaan patungan atau joint ventures semestinya dapat dilakukan.
Ia melanjutnya, pemerintah pun harus mampu meyakinkan para investor di sektor hilirisasi nikel untuk merealisasikan bisnisnya. Terutama pada ekosistem industri baterai dan mobil listrik. Berbagai insentif dapat diberikan untuk menambah ketertarikan para pemodal dan menghindari pembatalan realisais investasi.
Langkah terakhir yang dapat dilakukan, menurut Bhima yakni dengan meningkatkan bea keluar bijih nikel secara signifikan."Misalnya sebesar 40 persen sehingga meski diperbolehkan ekspor, namun harga yang diterima calon pembeli sangat mahal," katanya.
Sebagai informasi, Indonesia tengah menghadapi tuntutan dispute settlement di WTO. Ini merupakan gugatan keberatan atas kebijakan bahan mentah Indonesia oleh Uni Eropa. Indonesia memberlakukan pelarangan ekspor bijih nikel sejak 1 Januari 2020 yang ditetapkan melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019.
Namun, tidak hanya Uni Eropa yang berkeberatan dengan kebijakan Indonesia tersebut. Mengutip situs resmi WTO, disebutkan pihak ketiga yang ikut dalam dispute tersebut adalah Brasil, Kanada, China, Jepang, Korea, India, Rusia, Arab Saudi, Singapura, Turki, Ukraina, Uni Emirat Arab, dan Amerika Serikat.
Sebelumnya pada Rabu (7/9/2022), Presiden Joko Widodo menyebut kemungkinan kekalahan Indonesia dalam sengketa ekspor bijih nikel di WTO. Namun, ia menyatakan Indonesia tidak gentar jikapun mengalami kekalahan.
"Enggak perlu takut, kita ini stop ekspor nikel, kemudian dibawa ke WTO, enggak apa-apa. Dan kelihatannya juga kalah kita di WTO, enggak apa-apa," kata Presiden Jokowi.
Presiden menegaskan penghentian ekspor nikel menjadi semangat memperbaiki tata kelola tambang di Tanah Air. Ini menjadi momentum menghidupkan hilirisasi industri demi mendorong nilai tambah di dalam negeri.
"Barangnya sudah jadi dulu, industrinya sudah jadi. Enggak apa-apa. Kenapa kita harus takut dibawa ke WTO kalah. Kalah enggak apa-apa. Syukur bisa menang, tapi kalah pun enggak apa-apa. Industrinya sudah jadi dulu, ini memperbaiki tata kelola kok. Dan nilai tambah itu ada di dalam negeri," kata Presiden Jokowi.