REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Seorang pejabat pemerintah Israel mengatakan Tel Aviv tidak mengantisipasi kesepakatan baru perjanjian nuklir 2015 atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) sebelum pemilu sela Amerika Serikat (AS) pada bulan November. Hal ini disampaikan setelah tiga negara Eropa yang berpartisipasi dalam perundingan menyuarakan rasa frustasi terhadap Teheran.
"Pada saat ini, tampaknya perjanjian nuklir Iran tidak akan ditandatangani setidaknya sampai pemilihan sela AS," kata pejabat Israel yang tidak bersedia disebutkan namanya, Ahad (11/9/2022).
Sebelumnya Prancis, Inggris dan Jerman frustasi pada tuntutan Iran dalam perundingan mengaktifkan kembali JCPOA. Pada awal bulan ini Iran mengirimkan respon terbarunya pada usulan Uni Eropa untuk mengaktifkan kembali JCPOA.
Perjanjian nuklir itu akan membatasi program nuklir Teheran dengan imbalan AS, Uni Eropa dan PBB mencabut sanksi-sanksi ekonominya. Tiga negara Eropa mengatakan respon Iran pada koordinator Uni Eropa merupakan langkah mundur.
Dalam pernyataannya Sabtu (10/9/2022) tiga negara itu mengatakan dalam tuntutannya Teheran mengaitkan antara mengaktifkan kembali JCPOA dengan menutup penyelidikan Badan Atom Energi Internasional (IAEA) pada jejak uranium.
"Tuntutan baru meningkatkan keraguan pada niat dan komitmen Iran pada keberhasilan hasil JCPOA," kata Prancis, Jerman, dan Prancis yang dikenal E3 dalam pernyataan bersama mereka.
"Posisi Iran bertolak belakang dengan kewajiban yang terikat secara hukum dan membahayakan prospek restorasi JCPOA," tambah tiga negara itu.
Mantan Presiden AS Donald Trump mengeluarkan Washington dari kesepakatan itu pada 2018 lalu dan memberlakukan kembali sanksi-sanksi ekonomi pada Iran yang Teheran balas dengan melanggar kesepakatan-kesepakatan JCPOA. AS, negara-negara Arab dan Israel khawatir Iran ingin membuat senjata nuklir.