Kekecewaan Ortu Terhadap Perubahan Skema Masuk PTN
Rep: Silvy Dian Setiawan/ Red: Muhammad Fakhruddin
Kekecewaan Ortu Terhadap Perubahan Skema Masuk PTN (ilustrasi). | Foto: Dok IPB University
REPUBLIKA.CO.ID,YOGYAKARTA -- Orang tua mengungkap kekecewaannya terhadap perubahan skema seleksi masuk perguruan tinggi negeri (PTN) yang dikeluarkan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek). Perubahan tersebut dinilai mendadak mengingat akan diterapkan pada 2023 mendatang.
Salah satu orang tua dari peserta didik yang menempuh pendidikan di SMAN 7 Kota Yogyakarta, Deassy Marlia Destiani meminta agar perubahan skema tersebut dapat diundur. Menurutnya, perubahan skema seleksi masuk PTN ini terlalu mendadak mengingat peserta didik hanya memiliki sekitar enam bulan untuk melakukan persiapan.
"Tolong bikin kebijakan tidak mendadak dalam satu semester itu. Dalam satu semester dibuat regulasinya dan diterapkan di semester yang sedang berjalan, ini terlalu mendadak," kata Deassy kepada Republika, Senin (12/9).
Terlebih, ia sendiri sudah mengeluarkan biaya besar untuk anaknya mengikuti bimbingan belajar (bimbel) mengingat tes SBMPTN sebelumnya menggunakan materi dari banyak mata pelajaran. Sedangkan, pada perubahan skema seleksi masuk PTN di 2023 mendatang menghapus tes kemampuan akademik (TKA) dan diganti dengan memasukkan tes potensi skolastik (TPS).
"Kita sudah berkorban memasukkan anak ke bimbel dan tidak murah, puluhan juta masuk kesitu dengan harapan anak bisa masuk ke PTN sesuai yang diharapkan. Tapi di tengah jalan, sudah bayar, sudah mencicil, bela-belain buat anak, ternyata sekarang (skema diubah) begitu," tambah Deassy.
Jika aturan tersebut tetap diterapkan di 2023 nanti, maka anak hanya akan menjadi korban dari kebijakan yang belum matang. Hal ini mengingat tidak semua anak maupun sekolah yang siap dengan perubahan tersebut.
Setidaknya, kata Deassy, perubahan skema tersebut dapat diterapkan pada 2024. Dengan begitu, ada waktu bagi anak maupun sekolah, bahkan orang tua untuk memasukkan putra-putrinya ke PTN dengan adanya perubahan skema ini.
"Kalau memang regulasi ini mau dijadikan sebuah kebijakan, jangan di tahun ini. Kan semester ini sudah berjalan, kalau bisa di 2024 baru dipakai, biarkan anak-anak ini sekarang belajar dengan baik dan tenang sesuai dengan kurikulum yang ada sekarang," ujarnya.
Bahkan, Deassy juga meminta agar pemerintah mengkaji ulang perubahan skema ini. Pasalnya, kata Deassy, tidak semua SDM dalam hal ini sekolah atau guru yang sudah siap dengan pembelajaran untuk mempersiapkan peserta didiknya masuk ke PTN.
"Sosialisasi dulu, guru-guru di sekolah disiapkan dulu, anak disiapkan dulu mentalnya, baru (perubahan skema) ini digunakan. Ini belum apa-apa sudah dipakai, belum disosialisasikan dan anak saya sudah bimbel dan mereka jadi kecewa, secara mental psikologis juga kena," tambahnya.
Selain itu, Deassy juga menekankan agar adanya sosialisasi yang masif sebelum perubahan skema tersebut diterapkan. Ia juga mengaku kecewa mengingat saat ini belum ada sosialisasi yang masif terutama ke peserta didik dan orang tua, sehingga masih banyak yang tidak paham dengan perubahan skema itu.
"Kebijakan ini membuat bingung, tahun ini anak ku masuk (perguruan tinggi), sementara sudah disiapkan dengan bimbel. Semua pakai TKA (di bimbel), yang skolastik mungkin tidak terlalu ditekankan karena soal-soal skolastik lebih ke penalaran, sementara di bimbel soal-soal yang baku (diajarkan)," jelas Deassy.