REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelaku usaha ternak berharap ada alternatif sumber sapi bakalan selain dari Australia untuk menjaga kestabilan harga guna menjaga keberlangsungan usaha dan pasokan daging.
Ketua Gabungan Pelaku Usaha Peternakan Sapi Potong Indonesia (Gapuspindo), Didiek Purwanto, mengatakan saat ini harga sapi bakalan asal Australia terus meningkat yang berakibat membebani para pengusaha ternak dalam memutar roda bisnis.
"Harus ada alternatif suplai sapi bakalan dari negara lain. Australia dengan kondisi populasi sapi yang sekitar 27,6 juta. Kita lihat itu 53 persen adalah ke Indonesia, ternyata mereka bisa mempermainkan harga," kata Didiek, Senin (12/9/2022).
Hal serupa juga disampaikan oleh Corporate Affairs Director PT Great Giant Pineapple Welly Soegiono. PT Great Giant Pineapple, kata Welly, telah mengembangkan budidaya sapi dengan menerapkan bisnis berbasis ekonomi sirkular, yaitu pemanfaatan limbah nanas untuk pakan sapi.
Menurut Welly, dengan adanya alternatif pemasok sapi bakalan dari negara selain Australia membuka peluang produktivitas sapi secara nasional akan meningkat. Nantinya, kata dia, mampu mengimbangi kebutuhan dalam negeri yang terus naik. "Kita harus bisa menimbang harga sehingga tidak terkonsentrasi pada satu supplier," kata Welly.
Berdasarkan data Gapuspindo, harga impor sapi bakalan jantan dari Australia pada November 2021 sebesar 3,65 dollar AS per kilogram (CIF) atau setara Rp56.574 per kilogram (landed kandang). Lalu, tiga bulan setelahnya atau Februari 2022, harga beli sapi serupa dari Australia mengalami kenaikan 24,1 persen menjadi 4,53 dollar AS atau Rp70.413 per kilogram.
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian menyebut secara teknis Amerika Serikat dan Spanyol telah memenuhi syarat menjadi alternatif negara pemasok sapi bakalan bagi Indonesia. Kedua negara tersebut bebasdari penyakit mulut dan kuku (PMK).