Sebanyak 50 Juta Orang di Dunia Terjebak dalam Perbudakan Modern
Rep: Fergi Nadira/ Red: Fernan Rahadi
Perbudakan (Ilustrasi) | Foto: AFP
REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA - Organisasi Perburuhan Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (ILO) mengatakan, jumlah orang yang terjebak dalam kerja paksa atau pernikahan paksa dan krisis lain telah membengkak dalam beberapa tahun terakhir. Angka tersebut meningkat seperlima menjadi sekitar 50 juta.
Studi oleh badan PBB dengan Walk Free Foundation mencatat pada akhir tahun lalu, lebih dari setengah pekerja bekerja di luar keinginan mereka. Sisa dari pekerja tersebut dipaksa menikah.
Itu berarti hampir satu dari setiap 150 orang di dunia terperangkap dalam bentuk perbudakan modern. Keduanya berada di bawah definisi perbudakan modern karena melibatkan orang-orang yang tidak dapat menolak atau tidak dapat pergi karena ancaman, kekerasan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau bentuk paksaan lainnya.
PBB telah menetapkan tujuan untuk memberantas semua bentuk perbudakan modern pada 2030. Namun jumlah orang yang terjebak dalam kerja paksa atau pernikahan paksa membengkak sebesar 10 juta antara 2016 dan 2021.
Situasi telah diperburuk oleh pandemi Covid-19, yang memperburuk kondisi dan membengkaknya tingkat utang bagi banyak pekerja, serta konflik bersenjata dan perubahan iklim yang membuat orang dalam kemiskinan ekstrem dan memaksa lebih banyak orang untuk bermigrasi.
"Saya pikir, pada umumnya, kami hanya mengendurkan upaya kami dan kami telah mengalihkan perhatian kami dari pekerjaan paksa," ujar Direktur Jenderal ILO Guy Ryder seperti dikutip laman Aljazirah, Selasa (13/9/2022).
Ryder menyerukan perbaikan dalam praktik perekrutan dan pengawasan ketenagakerjaan. Dia mengatakan langkah-langkah perdagangan, seperti larangan produk dan impor yang dibuat dengan kerja paksa yang saat ini sedang ditinjau oleh Uni Eropa, juga dapat membantu.
Perbudakan modern pada dasarnya hadir di setiap negara. Lebih dari setengah kasus kerja paksa dan seperempat dari pernikahan paksa di negara-negara berpenghasilan menengah ke atas atau berpenghasilan tinggi.
"Adalah kesalahan untuk percaya bahwa kerja paksa adalah semata-mata masalah negara-negara miskin," kata Ryder.
Pekerja migran tiga kali lebih mungkin terkena dampak daripada penduduk lokal. ILO juga mengatakan perempuan dan anak-anak adalah yang paling rentan. Anak-anak merupakan satu dari lima orang dalam kerja paksa, dengan lebih dari setengahnya terjebak dalam eksploitasi seksual komersial, laporan tersebut menjelaskan.
Namun laporan itu juga mengatakan 14 persen dari mereka yang bekerja paksa melakukan pekerjaan yang dipaksakan oleh otoritas negara. ILO menyuarakan keprihatinan tentang penyalahgunaan kerja paksa penjara di banyak negara, termasuk Amerika Serikat.
Ini juga menunjukkan keprihatinan serius yang diangkat oleh kantor hak asasi PBB tentang laporan yang dapat dipercaya tentang kerja paksa di bawah kondisi yang sangat keras di Korea Utara. Laporan juga menyoroti situasi di Cina yang menunjukkan kekhawatiran tentang tuduhan kerja paksa di beberapa bagian negara merujuk pada pelanggaran HAM di Xinjiang.
"Ini berarti mereka akan mulai melaporkan situasi Uighur, dan itu akan memberi kita peluang baru untuk memiliki akses dan masuk lebih dalam ke situasi dalam hal itu," kata Ryder.
"Dia mengakui bahwa diskusi tentang hak-hak buruh di Xinjiang adalah bukan percakapan yang mudah tapi jelas, itu sangat penting," ujarnya menambahkan.