REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pesantren Kempek menyelenggarakan acara Haul Ke-33 KH Aqiel Siroj. Haul tersebut adalah memperingati wafatnya KH ‘Aqiel Siroj ayah dari KH Said Aqil Siroj. Acara dihadiri puluhan ribu santri dan masyarakat sekitar Kabupaten dan Kota Cirebon. Juga, turut hadir Bupati Kabupaten Cirebon serta jajaran pemerintah provinsi Jawa Barat.
Di tengah ceramah kebangsaan Kiai Said Aqil, menegaskan bahwa hari-hari ini konflik yang terjadi di Timur Tengah adalah warisan masa lalu. Lebih-lebih konflik terjadi antar golongan umat Islam.
“Konflik terjadi bukan karena salah agama Islam sebagai mayoritas. Namun, persoalan moral kebangsaan yang tidak menjunjung tinggi kemanusiaan. Sehingga nyawa sangat murah, dan saling membunuh sangat mudah. Hal seperti inilah yang diharapkan dari penjelasan Samuel Huntington dalam buku “Clash of Civilization”. Alhamdulillah Indonesia sebagai sebuah bangsa jauh dari hal itu, meski kita tidak pungkiri gerakan radikalisme kearah sana juga eksis di Indonesia," jelas Kiai Said Aqil Siroj.
Kiai Said Aqil menjamin bahwa Nahdlatul Ulama sebagai civil society melalui keberadaan pesantren akan menjadi benteng utama Republik Indonesia. Pesantren-pesantren Nahdlatul Ulama sejak berdiri hingga hari ini telah terbukti mencetak kader-kader bangsa, pemikir bahkan guru bangsa yang berakhlakul karimah dengan karakter nasionalisme.
Di sela-sela mimbar, dirinya juga memuji sikap Presiden Jokowi yang berinisiatif melakukan lawatan ke Ukraina dan Rusia, dalam rangka mencari solusi konflik perang antar kedua negara tersebut. Meski pada waktu yang sama Kiai Said secara tegas mengkritik kebijakan pemerintah atas kenaikan BBM.
“BBM naik, sudah pasti kebutuhan pokok ikut naik. Nelayan sepanjang pantura menjadi korban. Solar untuk berlayar bukan saja naik, namun barangnya tidak ada. Itu kan kader NU semua. Bagi-bagi BLT juga bukan solusi bagi rakyat, seperti hanya untuk bagi-bagi permen. Sifatnya sementara!," Tegas Kiai Said Aqil Siroj.
Sementara itu, Deputi Kajian Said Aqil Siroj Institute, Abi Rekso memaknai sikap ketidaksepakatan Kiai SAS terhadap kenaikan BBM dan BLT adalah “otokritik kebangsaan”.
“Otokritik Kiai SAS soal kenaikan BBM dan BLT, jangan dimaknai sebagai sikap oposisi antipemerintah. NU sebagai civil society punya tanggung jawab moral menyuarakan suara rakyat. Jadi sikap itu perlu kita letakan sebagai otokritik kebangsaan yang membangun. Sama-sama kita mencari solusi kebangsaan.” Jelas Abi Rekso.
Abi Rekso menilai krisis energi dan pangan sudah di depan mata. Jika mengutip dari penjelasan Menteri Keuangan Sri Mulyani, bahwa alokasi subsidi energi tahun ini sebesar 502,4 T tidak cukup akibat kenaikan harga minyak dunia. Dirinya menekankan sudah saatnya pemberdayaan masyarakat dalam hal energi dipikirkan. Sinergitas dan kolaborasi bukan saja difokuskan antar lembaga pemerintah dan struktur pemerintahan daerah. Pemberdayaan masyarakat sebagai subjek produsen energi juga sudah perlu dipikirkan. Menuju kedaulatan energi.
“Dengan pembatasan subsidi BBM, kita mendorong anggaran untuk riset dan pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) menjadi salah satu prioritas. Kita dorong PLN segera fokus pada Pembangkit Listrik EBT. Seperti di Jepang, masyarakat menggunakan solar panel untuk memenuhi kebutuhan listrik rumah tangga. Jika ada lebih daya, maka pemerintah akan membeli dari produksi kapasitas listrik rumahan. Ini kan bagus, harga listrik stabil dan masyarakat bisa mendapatkan insentif dari pemerintah," tambah Abi Rekso.
Abi menekankan jika pengelolaan anggaran hanya difokuskan kepada jaringan pengaman sosial seperti bansos dan BLT. Maka konsentrasi terhadap peta jalan kedaulatan energi akan abai. Setidaknya, jika ke depan ada kenaikan minyak dunia, tidak menjadi variabel kenaikan harga listrik.
“Jika nanti Pembangkitan Listrik EBT bisa berjalan dengan melibatkan potensi masyarakat dan pesantren, kalau harga BBM naik harga listrik tidak naik. Ini akan membantu meringankan masyarakat” kata Abi Rekso.