REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Organisasi Perburuhan Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (ILO) pada Senin (12/9) mengatakan, jumlah orang yang terjebak dalam kerja paksa atau pernikahan paksa dan krisis lainnya telah meningkat menjadi sekitar 50 juta orang. ILO mengatakan, dengan total jumlah tersebut maka hampir satu dari setiap 150 orang di dunia terperangkap dalam bentuk perbudakan modern.
"Mereka berada di bawah definisi perbudakan modern karena melibatkan orang-orang yang tidak dapat menolak atau tak dapat pergi karena ancaman, kekerasan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau bentuk paksaan lainnya," ujar laporan ILO, dilansir Aljazirah, Selasa (13/9).
PBB telah menetapkan tujuan untuk memberantas semua bentuk perbudakan modern pada 2030. Tetapi jumlah orang yang terjebak dalam kerja paksa atau pernikahan paksa membengkak sebesar 10 juta antara 2016 dan 2021. Situasi telah diperburuk oleh pandemi Covid-19. Pandemi telah memperburuk kondisi karena membengkaknya tingkat utang bagi banyak pekerja.
Selain itu, konflik bersenjata dan perubahan iklim membuat orang terjatuh dalam kemiskinan ekstrem dan memaksa lebih banyak orang untuk bermigrasi.
Direktur Jenderal ILO Guy Ryder mengatakan, suatu kesalahan untuk percaya bahwa kerja paksa semata-mata merupakan masalah negara-negara miskin. “Saya pikir, pada umumnya, kami hanya mengendurkan upaya kami. Kami telah mengalihkan perhatian kami dari pekerjaan paksa,” kata Ryder kepada kantor berita Reuters, sembari menyerukan perbaikan dalam praktik perekrutan dan pengawasan ketenagakerjaan.
Ryder mengatakan, langkah-langkah perdagangan, seperti larangan produk dan impor yang dibuat dengan kerja paksa yang saat ini sedang ditinjau oleh Uni Eropa dapat membantu masalah perbudakan modern.
Perbudakan modern pada dasarnya hadir di setiap negara. Lebih dari setengah kasus kerja paksa dan seperempat dari pernikahan paksa terjadi di negara-negara berpenghasilan menengah ke atas atau berpenghasilan tinggi. "Adalah kesalahan untuk percaya bahwa kerja paksa adalah semata-mata masalah negara-negara miskin," kata Ryder.
ILO mengatakan, pekerja migran kemungkinan tiga kali lebih terkena dampak perbudakan modern ketimbang penduduk lokal. ILO juga mengatakan, perempuan dan anak-anak adalah yang paling rentan terjebak dalam perbudakan modern. Satu dari lima orang dalam kerja paksa adalah anak-anak. Sementara lebih dari setengahnya terjebak dalam eksploitasi seksual komersial.
Laporan ILO menyebutkan, 14 persen dari mereka yang bekerja paksa melakukan pekerjaan yang dipaksakan oleh otoritas negara. ILO juga menyatakan keprihatinan serius terkait kerja paksa di bawah kondisi yang sangat keras di Korea Utara.
ILO menyoroti situasi di China, dan kekhawatiran tentang tuduhan kerja paksa di beberapa bagian negara. Hal ini merujuk pada laporan yang dirilis oleh kantor hak asasi manusia PBB pada 31 Agustus. Laporan itu mengatakan, ada pelanggaran hak asasi manusia serius yang telah dilakukan di Cina.
Menurut laporan komisi hak asasi manusia PBB, penahanan warga Uighur dan Muslim lainnya di Xinjiang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. China dengan keras membantah tuduhan itu. Dua bulan lalu China meratifikasi dua konvensi menentang kerja paksa. Ryder mengakui, diskusi tentang hak-hak buruh di Xinjiang bukan percakapan yang mudah. Tapi persoalan ini sangat penting.
"Ini berarti mereka akan mulai melaporkan situasi Uighur, dan itu akan memberi kita peluang baru untuk memiliki akses", kata Ryder.