REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Perindustrian menilai rencana Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM untuk melabeli BPA terhadap air minum dalam kemasan (AMDK) akan menambah biaya bagi pelaku usaha. Cost yang keluar justru akan mengurangi daya saing Indonesia.
Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar (Mintegar) Kementerian Perindustrian, Edy Sutopo, mengatakan pelabelan diperlukan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat bagaimana cara handling dan penggunaan kemasan yang menggunakan bahan penolong BPA dengan benar.
“Jadi, bukan malah memunculkan masalah baru yang merusak industri. Jadi, menurut kami pelabelan BPA belum diperlukan. Itu hanya akan menambah cost atau mengurangi daya saing Indonesia,” ujarnya, Selasa (13/9/2022).
Sekretariat Kabinet telah mengembalikan draft revisi Peraturan BPOM nomor 31 tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan yang diajukan BPOM dapat diperbaiki karena dinilai bersifat diskriminatif terhadap satu produk tertentu saja.
Sementara itu Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang juga Pakar Hukum Persaingan Usaha Ningrum Natasya Sirait menambahkan jika pelabelan ‘berpotensi mengandung BPA’ itu didasarkan pada keresahan terkait kontaminasi zat kimia berbahaya, selayaknya seluruh produk dikenakan perlakuan serupa.
“Apalagi, itu harus ada penelitian dan juga pembahasan bersama pelaku usaha. Karena ini upaya untuk melindungi semua, bukan sebagian,” ucapnya.
Ningrum menyebut adanya perbedaan perspektif antara BPOM dan KPPU dalam melihat revisi kebijakan yang akan melabeli ‘berpotensi mengandung BPA’ pada galon guna ulang. Menurutnya jika perspektif BPOM demi kesehatan masyarakat, tapi perspektif KPPU tidak dibuat untuk menguntungkan perusahaan tertentu saja.
“Banyak bisnis babak belur akibat pandemi Covid-19. Jadi, dalam kondisi seperti saat ini seharusnya BPOM jangan membuat kebijakan yang mengakibatkan extra cost lagi. Ini akan menjadi artificial barrier kalau wajib aturan ini dilaksanakan,” ucapnya.
Karenanya, dia meminta BPOM agar tidak hanya membuat kebijakan dengan melihat sisi kesehatan saja, tapi harus juga memperhatikan dampaknya terhadap potensi terjadinya persaingan usaha. Dalam hal ini, kebijakan BPOM itu harus merujuk kepada Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 yang sudah diubah ke UU Nomor 15 tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Artinya, kata Ningrum, dalam merevisi atau membuat sebuah kebijakannya, BPOM harus melakukannya berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi kejelasan tujuan, kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan, dapat dilaksanakan serta memiliki kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan, dan keterbukaan.
Selain itu, materi muatannya juga harus mencerminkan asas pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, bhinneka tunggal ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum, keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
“Jadi, membuat peraturan itu tidak bisa sembarangan. Ada naskah akademiknya, ada penelitiannya, dengar pendapatnya, tidak gampang lah pokoknya,” ucapnya.