Sosiolog Unair: Ada Potensi Program Bansos tak Berdampak

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Fernan Rahadi

Petugas menghitung uang Bantuan Langsung Tunai (BLT) Bahan Bakar Minyak (BBM) (ilustrasi).
Petugas menghitung uang Bantuan Langsung Tunai (BLT) Bahan Bakar Minyak (BBM) (ilustrasi). | Foto: ANTARA/Adwit B Pramono

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Pakar sosiologi Universitas Airlangga (Unair) Prof Bagong Suyanto menyatakan, efek domino kenaikan harga BBM akan memicu rentetan kenaikan barang kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat. Maka dari itu sangat wajar jika muncul kekhawatiran dan ketidakpuasan di tengah masyarakat ketika pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM, karena hal itu akan menimbulkan tekanan sosial baru.

Pemerintah, kata Bagong, memang telah menggelontorkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebagai upaya agar tekanan sosial yang terjadi tidak terlalu besar. Namun, kata dia, yang menjadi tantangan ialah bagaimana menjamin kepercayaan masyarakat mengenai distribusi BLT yang merata.

“Yang dikhawatirkan, program Bansos tidak banyak berdampak, karena logika pemerintah kayaknya membayangkan kalau masyarakat itu kondisi ekonominya nol, lalu diberi Rp 600 ribu, dan katakanlah plus 600 ribu. Tapi masalahnya, bagaimana kalau masyarakat kondisi ekonominya minus?” kata Bagong, Rabu (14/9/2022).

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unair tersebut selain menyoroti masalah distribusi, juga bicara perihal kemanfaatan. Menurutnya, distribusi yang tepat sasaran belum tentu tepat manfaat. Apalagi, dampak sosial dari putusan tersebut akan meningkatkan golongan orang miskin baru. Tentunya banyak masyarakat yang harus beradaptasi dengan kondisi tersebut.

“Untuk kelompok yang kita sebut sebagai kelompok near poor, dekat dengan kemiskinan, gejolak harga membuat mereka bukan tidak mungkin akan menjadi orang miskin baru,” ujarnya.

Bagong mengingatkan, stimulus pemberian subsidi tidak selamanya baik apabila dilakukan secara berlebihan. Hal tersebut akan berdampak pada masyarakat yang selalu ketergantungan. Maka dari itu, kata dia, pemerintah sebaiknya tidak banyak pada bantuan yang sifatnya karitatif.

"Tapi lebih pada bantuan yang lebih memberdayakan dan kebijakannya jangan seperti pemadam kebakaran yang menunggu apinya menyala, baru dimatikan," kata Bagong.

Ia pun berpesan agar masyarakat melakukan diversifikasi usaha dan tidak berpatokan pada pekerjaan pokok. Menurutnya, pekerjaan pokok gampang sekali terombang-ambing dengan regulasi yang ada. Artinya, harus ada gerakan mengajari dan mendorong masyarakat untuk memperkuat penyangga ekonomi keluarga.

"Bukan membesarkan ekonomi pokok karena kalau kolaps maka kolaps ekonomi keluarga itu. Tapi kalau pemasukannya banyak, mereka akan lebih banyak menghadapi tekanan,” ujarnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini

Terkait


Demo Tolak Kenaikan Harga BBM Berlanjut Hingga Malam Hari

Jokowi Minta Pemerintah Daerah Tekan Laju Inflasi

Ekonom Sebut BLT Belum Cukup Meredam Dampak Kenaikkan BBM

Wali Kota dan DPRD Madiun Bagikan Bansos Sembako ke Warga Sasaran

Pembelian BBM Bersubsidi di Palangkaraya Dibatasi

Republika Digital Ecosystem

Kontak Info

Republika Perwakilan DIY, Jawa Tengah & Jawa Timur. Jalan Perahu nomor 4 Kotabaru, Yogyakarta

Phone: +6274566028 (redaksi), +6274544972 (iklan & sirkulasi) , +6274541582 (fax),+628133426333 (layanan pelanggan)

[email protected]

Ikuti

× Image
Light Dark