Rabu 14 Sep 2022 13:35 WIB

Penangkapan Pengunjuk Rasa Anti-Monarki di Inggris Tuai Kritik

Penangkapan meningkatkan kekhawatiran tentang kebebasan berbicara dan berpendapat.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Friska Yolandha
Orang-orang berjalan di dekat potret Ratu Elizabeth II di pusat kota London, Selasa, 13 September 2022. Ratu Elizabeth II, raja terlama yang memerintah Inggris dan batu stabilitas di sebagian besar abad yang bergejolak, meninggal Kamis 8 September 2022, setelah 70 tahun bertahta, pada usia 96 tahun.
Foto: AP Photo/Andreea Alexandru
Orang-orang berjalan di dekat potret Ratu Elizabeth II di pusat kota London, Selasa, 13 September 2022. Ratu Elizabeth II, raja terlama yang memerintah Inggris dan batu stabilitas di sebagian besar abad yang bergejolak, meninggal Kamis 8 September 2022, setelah 70 tahun bertahta, pada usia 96 tahun.

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Polisi Inggris menghadapi kritik dari aktivis dan kelompok kebebasan sipil atas perlakuan mereka terhadap orang-orang yang secara terbuka menentang aksesi Raja Charles III. Charles secara otomatis naik takhta setelah kematian Ratu Elizabeth II.

Penangkapan ini meningkatkan kekhawatiran tentang kebebasan berbicara dan berpendapat. Seorang wanita di Edinburgh didakwa melanggar ketertiban karena memegang sebuah kertas karton dengan tulisan "Hapuskan Monarki". Sementara seorang wanita lain di London diamankan dari gerbang Parlemen karena membawa kertas karton dengan tulisan, "Bukan rajaku".

Baca Juga

Dalam beberapa hari terakhir, polisi telah menangkap orang-orang yang menyerukan anti-monarki. Langkah ini menimbulkan pertanyaan tentang penegakan otoritas kebebasan berbicara.  Seorang pria didakwa melanggar perdamaian setelah dia mengejek Pangeran Andrew saat mobil jenazah ratu melakukan perjalanan melalui ibu kota Skotlandia.

Sementara di Oxford, aktivis perdamaian Symon Hill diborgol setelah dia berteriak, "Siapa yang memilihnya?". Teriakan Hill ini mengacu pada Charles yang naik takhta sebagai raja baru.

Hill mengatakan dia dimasukkan ke dalam mobil polisi oleh petugas. Petugas itu mengatakan kepada Hill bahwa, dia ditahan karena dugaan perilaku yang dapat menyebabkan pelecehan. Dia kemudian dibebaskan, tetapi masih bisa menghadapi interogasi.

"Polisi menyalahgunakan kekuasaan mereka untuk menangkap seseorang yang menyuarakan penentangan ringan terhadap kepala negara yang diangkat secara tidak demokratis," kata Hill.

NotMyKing telah menjadi tagar yang sedang tren di Twitter. Kelompok hak-hak sipil Liberty mengatakan, cara polisi menegakkan kekuasaan secara luas untuk menekan kebebasan berbicara dan berekspresi sangat mengkhawatirkan. Sementara kelompok antimonarki, Republic, berencana mengorganisir protes pada penobatan raja dalam beberapa bulan mendatang.

"Kebebasan berbicara sangat penting bagi demokrasi apa pun," kata juru bicara Republic, Graham Smith.

Penangkapan itu terjadi setelah pemerintah mengesahkan undang-undang hukum dan ketertiban yang kontroversial. Pengesahan ini memperkuat kekuasaan polisi untuk membatasi aksi protes yang mengganggu. Sejauh ini tidak diketahui apakah penangkapan yang sedang berlangsung melibatkan undang-undang baru.

Juru bicara Perdana Menteri Liz Truss, Max Blain, mengatakan, saat ini Inggris sedang menjalani masa berkabung nasional. Sementara hak untuk memprotes tetap menjadi prinsip mendasar bagi masyarakat. Namun dia menyerahkan keputusan kepada polisi untuk menindak aksi protes individu sesuai hukum.

Kepolisian Metropolitan London mengatakan, sebagian besar interaksi antara petugas dan publik saat ini bersifat positif. “Masyarakat benar-benar memiliki hak untuk protes dan kami telah menjelaskan ini kepada semua petugas yang terlibat dalam operasi kepolisian luar biasa yang saat ini dilakukan,” kata Wakil Asisten Komisaris Polisi London, Stuart Cundy.

sumber : AP
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement