REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyatakan, belum berencana menghapus kebijakan domestic market obligation (DMO) minyak sawit atau CPO. Menurut Kemendag, kebijakan minyak goreng saat ini masih dibutuhkan oleh masyarakat.
"Itu belum kami bahas, rakyat masih perlu dan kami masih menjaga agar kinerja ekspor berjalan lancar. Belum ada (rencana perubahan)," kata Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga, Kemendag, Veri Angrijono saat ditemui di kawasan Sentul, Bogor, Rabu (14/9/2022).
Ombudsman memberikan waktu kepada Kemendag selama 60 hari terhitung sejak Selasa (13/9/2022) untuk dapat melakukan tindakan korektif berupa penghapusan DMO.
Veri pun mengatakan, masih mempelajari sejumlah tindakan korektif yang direkomendasi Ombudsman ihwal pembenahan kebijakan minyak goreng. "Kita masih pelajari bagaimana baiknya buat Republik, buat petani," katanya.
Saat ini Kemendag masih fokus pada upaya meningkatkan kinerja ekspor CPO. Sebab, hanya dengan meningkatkan ekspor harga tandan buah segar (TBS) sawit petani yang kini anjlok bisa kembali meningkat karena permintaan dari pabrik CPO membaik.
Menurut Veri, harga TBS sawit saat ini mulai menyentuh angka Rp 2.500 per kg. Kemendag terus berupaya agar harga TBS bisa kembali naik demi kesejahteraan para petani sawit.
Sebagaimana diketahui, harga TBS petani sebelumnya menyentuh level di atas Rp 3.000 per kg. Namun, harga seketika anjlok hingga sempat di bawah Rp 1.000 per kg imbas kebijakan pemerintah yang melarang total ekspor CPO pada Mei lalu demi mengamankan pasokan minyak goreng.
Ombudsman meminta sejumlah tindakan korektif untuk memperbaiki tata niaga minyak goreng dalam negeri setelah mengalami persoalan pangan dengan kenaikan harga hingga kelangkaan pasokan yang terjadi tahun ini.
Salah satu tindakan korektif terpenting yang diminta, yakni penghapusan kebijakan domestic market obligation (DMO).
Komisioner Ombudsman Yeka Hendra Fatika, mengatakan, permintaan tindakan korektif yang paling mendesak adalah penghapusan DMO. "Itu harus dilaksanakan, Kemendag harus mencabut DMO," kata Yeka di Jakarta.
Permintaan tersebut, menurut dia, berbasis pada data dan telah diakui oleh sejumlah pihak terkait untuk saran perbaikan.
Persoalan utama minyak goreng adalah mahalnya harga imbas kenaikan harga CPO. Karena itu, solusi yang tepat adalah menurunkan harga. Langkah penurunan harga itu juga bukan dengan peraturan harga eceran tertinggi (HET), termasuk dengan DMO.
"Jadi, pendekatannya kalau mahal ya proteksi (masyarakat) yang rentan kena kemahalan. Solusinya apa? bantuan. Dari mana barangnya? BUMN membeli sesuai dengan harga pasar, jual dengan pola subsidi, kasih ke masyarakat sasaran," ujar Yeka.
Kebijakan DMO diambil pemerintah untuk memastikan keamanan ketersediaan minyak sawit di dalam negeri sehingga melimpah dan tidak mengalami kelangkaan. Di satu sisi, pemerintah juga menerapkan kebijakan domestic price obligation (DPO) untuk mematok harga khusus yang lebih rendah di dalam negeri.
"Kalau masyarakat miskin dibantu, jumlah orang yang pergi ke pasar berkurang, permintaan berkurang, akhirnya harga turun. Atau operasi pasar, ya harus BUMN," ujarnya.
Ia pun menyesalkan kebijakan yang ditempuh pemerintah justru jauh dari permasalahan. Kebijakan DMO dan DPO pun rentan menyebabkan penyelundupan.
Yeka menambahkan, penghapusan DMO juga untuk membantu percepatan ekspor karena telah berdampak. Di satu sisi mempercepat penyerapan tandan buah segar (TBS) petani sawit yang saat ini masih dihargai rendah sejak pemerintah menempuh kebijakan larangan ekspor pada Mei lalu.