Rabu 14 Sep 2022 19:44 WIB

Temuan Kasus di AS Buat Indonesia Harus Waspadai Kembali Polio

WHO sebut 23 provinsi di Indonesia berisiko tinggi kasus polio.

Red: Indira Rezkisari
Petugas mengukur lengan anak saat kegiatan Bulan Imunisasi Anak Nasional di halaman Masjid At Taqwa, Sukajadi, Kota Bandung, Selasa (2/8/2022). Pemerintah Provinsi Jawa Barat menargetkan 3,4 juta balita mendapatkan imunisasi campak rubela serta 4,09 juta balita mendapatkan imunisasi polio tetes, polio injeksi dan pentabio selama pelaksanaan Bulan Imunisasi Anak Nasional (BIAN) 2022 yang digelar pada bulan Agustus ini. Foto: Republika/Abdan Syakura
Foto: REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA
Petugas mengukur lengan anak saat kegiatan Bulan Imunisasi Anak Nasional di halaman Masjid At Taqwa, Sukajadi, Kota Bandung, Selasa (2/8/2022). Pemerintah Provinsi Jawa Barat menargetkan 3,4 juta balita mendapatkan imunisasi campak rubela serta 4,09 juta balita mendapatkan imunisasi polio tetes, polio injeksi dan pentabio selama pelaksanaan Bulan Imunisasi Anak Nasional (BIAN) 2022 yang digelar pada bulan Agustus ini. Foto: Republika/Abdan Syakura

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dian Fath Risalah, Wahyu Suryana

Temuan virus polio dalam sampel air limbah di wilayah Kota New York membuat Gubernur Negara Bagian New York, Kathy Hochul, pada Jumat (9/9/2022) menyatakan darurat bencana. Otoritas kesehatan New York mulai memeriksa tanda-tanda virus dalam air limbah setelah AS melaporkan kasus polio pertama yang dikonfirmasi pada Juli di Rockland County, sekitar 48 kilometer di utara Manhattan.

Baca Juga

Penyakit polio memang sudah lama punah dari muka bumi. Temuan kasus polio di Amerika membuat Indonesia harus waspada pula.

Epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman meminta agar pemerintah Indonesia waspada dengan temuan kasus polio. Pasalnya, banyak daerah yang masih dalam kategori berisiko tinggi.

"Jadi terkait polio, ini harus menjadi pengingat serius dan harus direspons juga sangat serius karena ancamannya nyata untuk Indonesia,” kata dia dalam keterangannya yang diterima Republika, Rabu (14/9/2022).

“Sebagai tambahan, terkait polio ini, oleh WHO bahkan di awal pandemi (Covid-19) 2020 sudah dimasukkan dalam kategori yang berisiko tinggi ya Indonesia. Karena hampir 50 persen kabupaten/kota dalam risiko tinggi, karena cakupan dari imuninasi dasar yang rendah,” sambungnya.

Menurut WHO ada 23 provinsi di Indonesia yang dinyatakan berisiko tinggi ditemukannya kasus polio. Oleh karena itu, pemerintah harus segera merespons hal ini dengan peningkatan imunisasi dasar, misalnya dengan menggelar pekan imunisasi nasional.

"Kita sebenarnya sudah melakukan imunisasi nasional polio berkali-kali ya, tapi tetap kurang saja. Karena thresholdnya untuk terjadinya herd immunity untuk polio, itu harus 95 persen dari total khususnya populasi,” jelas dia.

Setidaknya, lanjut Dicky, Indonesia memperoleh threshold sebanyak 90 persen dari total populasi. Termasuk, anak-anak yang perlu diberikan imuninasi dasar lengkap dan mendapatkan vaksin polio sebanyak empat kali.

“Nah ini yang harus betul-betul dikejar, karena itu berbahaya ya kalau tidak dikejar,” ucap dia.

Mengenai kebijakan penetapan status darurat di Amerika, Dicky menilai sudah tepat AS meskipun juga sudah sedikit terlambat. Dicky menerangkan, penemuan satu kasus lumpuh sudah menjadi indikator serius serta menjadi dasar penetapan KLB (Kejadian Luar Biasa).

"Status darurat polio tepat tapi relatif terlambat. Bicara polio , satu saja kasus ada itu menjadi indikator darurat polio," terang Dicky.

"Karena keseriusan polio tidak bisa dibandingkan dengan aspek lainnya. Dampak dari polio itu tidak bisa kembali lagi. Artinya ada banyak kasus di balik itu yang asimptomatik, tak bergejala. Banyak yang tak merasakan apa-apa,” sambung Dicky.

Karena, jika status darurat tak ditetapkan, maka penanganannya tidak akan serius dan menularkan ke kelompok rawan yang belum mendapatkan vaksin polio saat kecil atau imunisasi dasar. “Itu prinsip paling sama dengan Covid-19. Virus polio bisa ditularkan orang yang tak bergejala,” jelasnya.

Sebelumnya, Ketua Tim Kerja Imunisasi Tambahan dan Khusus Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Gertrudis Tandy mengungkapkan, capaian imunisasi global menurun dari 86 persen pada 2019 menjadi 83 persen pada 2020. Data di Indonesia menunjukkan penurunan signifikan dalam capaian imunisasi anak saat Covid-19 mulai melanda.

Bahkan, dalam periode 2019 hingga 2021, Indonesia mencatat sebanyak 1,7 juta bayi yang tidak mendapatkan imunisasi lengkap. Kemudian, pada tahun 2020, ada 23 juta anak di dunia tidak mendapatkan imunisasi lengkap. "Jumlah ini tertinggi sejak tahun 2009," kata Gertrudis dalam seminar daring bersama Ikatan Dokter Anak Indonesia beberapa waktu lalu.

"Jadi kita menjadi penyumbang 10 terbesar untuk anak-anak yang tidak lengkap imunisasinya di tahun 2020," sambungnya.

Jika situasi ini terus dibiarkan, lanjut Tandy, risiko transmisi akan semakin meluas dan risikonya Indonesia akan gagal mencapai eliminasi campak-rubella pada 2023 yang merupakan target global. Selain itu, Indonesia juga bisa gagal untuk mencapai tujuan bebas polio yang sebetulnya sudah dicapai sejak 2014.

"Tentu saja beban kasus dan KLB dapat menjadi beban ganda di tengah pandemi Covid-19 yang juga belum usai," katanya.

photo
Kasus polio pertama AS setelah hampir satu dekade - (Tim infografis Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement