REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) melakukan studi mengenai anak-anak jalanan yang terkait dengan rokok dan menghisap tembakau. Studi menemukan 25 persen pendapatan anak jalanan digunakan untuk membeli rokok.
Tim Riset PKJS-UI Risky Kusuma Hartono menjelaskan penelitian mengenai 'Ancaman Keterjangkauan Produk Rokok pada Anak Jalanan: Studi Kualitatif'. Studi ini menunjukkan bahwa anak jalanan sangat rentan terhadap konsumsi rokok yang mengakibatkan adiksi.
"Beberapa poin temuan dalam studi di antaranya pertama pendapatan anak jalanan bervariasi pada rentang Rp 25 ribu-Rp 300 ribu per hari. Namun, sekitar 25 persen penghasilan per hari anak jalanan habis digunakan untuk membeli rokok," ujarnya saat ada di konferensi virtual PKJS, Kamis (15/9/2022).
Bahkan, dia melanjutkan, terdapat anak jalanan dengan konsumsi lebih dari satu bungkus per hari. Temuan kedua, mayoritas anak jalanan membeli rokok secara batangan/ketengan. Harga satuan rokok pun sangat murah yaitu Rp 2.000 per batang.
Temuan ketiga yaitu mayoritas informan memiliki persamaan persepsi bahwa harga rokok masih murah di Indonesia. Kenaikan harga rokok belum menjadikan harga rokok menjadi mahal. Kemudian, temuan keempat adalah anak jalanan akan berpikir ulang untuk membeli rokok apabila harga rokok menjadi mahal. Apabila harga rokok dinaikkan 5 kali lipat dari harga saat ini, maka harga rokok akan semakin mahal dan semakin berpotensi besar mendorong anak-anak untuk berhenti mengonsumsi rokok.
Temuan kelima, jenis rokok yang paling banyak dikonsumsi anak jalanan merupakan rokok golongan 1 yaitu rokok dengan tarif cukai yang paling mahal. Namun, sebagian anak jalanan masih berniat pindah ke produk rokok dengan harga yang lebih murah apabila harga rokok naik.
Kemudian, temuan keenam adalah edukasi bahaya merokok belum berhasil membuat anak jalanan berhenti merokok. Temuan ketujuh yaitu efek jangka pendek kondisi ekonomi akibat dari perilaku merokok yaitu pemborosan, mengurangi pendapatan, dan hanya kegiatan berupa membakar uang. Selain itu, efek penurunan kondisi kesehatan yang dirasakan oleh sebagian besar informan anak jalanan yaitu menjadi sering batuk-batuk, lebih mudah mengalami kelelahan, hingga masalah paru-paru.
Sementara itu, Tim Riset dan Manajer Program PKJS-UI Renny Nurhasana menambahkan, konsumsi rokok pada anak jalanan dapat mengakibatkan mereka terjebak pada jurang kemiskinan. Ini terjadi karena anak rentan mengalami penurunan produktivitas akibat dari penurunan kondisi kesehatan di masa depan.
Studi menyimpulkan bahwa rokok masih sangat mudah dijangkau oleh anak jalanan yang disertai dengan berbagai konsekuensi merugikan. "Oleh karena itu, studi ini memberikan rekomendasi kebijakan sebagai berikut yaitu pertama menaikkan harga rokok melalui mekanisme kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) agar harga rokok menjadi semakin mahal sehingga lebih tidak terjangkau oleh anak jalanan," katanya.
Ia menambahkan, studi mendukung rekomendasi dari Bappenas agar Pemerintah menaikkan cukai rokok sebesar 20 persen dan melanjutkan penyederhanaan/simplifikasi strata tarif cukai menjadi lima strata untuk dapat mencapai target penurunan prevalensi perokok anak sebesar 8,7 persen pada 2024. Rekomendasi kedua yaitu merevisi Peraturan Pemerintah 109/2012 di antaranya dengan melarang penjualan rokok ketengan agar dapat lebih melindungi anak dari bahaya rokok, serta menerapkan pelarangan penjualan rokok secara ketengan agar semakin membatasi akses rokok kepada anak.
Rekomendasi ketiga adalah pemerintah pusat maupun daerah perlu bekerja sama secara lintas sektor maupun pihak lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk memperbanyak program, edukasi, dan kegiatan dalam rangka pencegahan dan menekan perilaku merokok anak jalanan.