REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden menggelar “The United We Stand Summit” di Gedung Putih, Kamis (15/9). KTT tersebut akan membahas gelombang ekstremisme bermotif kebencian rasialis yang mengancam demokrasi di negara tersebut.
“KTT akan mengedepankan visi bersama untuk Amerika yang lebih bersatu, menunjukkan bahwa sebagian besar orang Amerika setuju bahwa tidak ada tempat untuk kekerasan yang dipicu kebencian di negara kita, dan bahwa ketika warga Amerika bersatu untuk memperbarui ikatan sipil dan menyembuhkan perpecahan, kita dapat membantu mencegah tindakan kebencian dan kekerasan,” kata Gedung Putih dalam sebuah pernyataan.
Dalam pernyataannya, Gedung Putih menyinggung tentang serangan rasialis mematikan ke sebuah gereja komunitas Afrika-Amerika di Charleston, Carolina Selatan, pada 2015.
Selain itu, dikutip pula penembakan massal yang menargetkan komunitas Latin di El Paso, Texas, pada 2019. Sementara kejadian tahun ini yang disorot adalah serangan terhadap warga Afrika-Amerika di Buffalo, New York.
Menurut Gedung Putih, serangkaian serangan berlandaskan kebencian itu merupakan ancaman bagi bangsa AS. Gedung Putih mengungkapkan, The United We Stand Summit diikuti wali kota dari partai Demokrat dan Republik. Sejumlah aktivis sipil, akademisi, dan pemuka agama turut berpartisipasi dalam kegiatan tersebut.
Gedung Putih menekankan, The United We Stand Summit tidak bersifat politis. Sebaliknya, lewat KTT itu, pemerintahan Biden ingin menunjukkan bahwa mereka dapat bersatu melampaui garis partisan. Biden diagendakan menyampaikan pidato dalam KTT tersebut.
The United We Stand Summit digelar delapan pekan sebelum penyelenggaraan pemilu sela. Dalam pemilu itu, Partai Republik akan berusaha mengambil alih kendali Kongres AS.