Sabtu 17 Sep 2022 02:21 WIB

Perjuangan Keluarga Mantan Napiter Melawan Stigma Masyarakat

Keluarga mantan napiter merasa terisolasi dari lingkungan dan tetangga.

Rep: C02/ Red: Agus raharjo
Tiga mantan napi teroris berkumpul kembali dengan keluarganya di Polres Tasikmalaya Kota, Kamis (20/5). (Ilustrasi)
Foto: Republika/Bayu Adji P.
Tiga mantan napi teroris berkumpul kembali dengan keluarganya di Polres Tasikmalaya Kota, Kamis (20/5). (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, KLATEN--Dewi Setiawati (43 tahun) asal Klaten terus berjuang mencukupi dan mempertahankan keluarganya di tengah tekanan stigma masyarakat. Suaminya menjadi terpidana teroris dan divonis penjara selama tujuh tahun.

Selama suaminya mendekam di penjara, Dewi bekerja sebagai seorang guru di taman kanak-kanak (TK). Namun, ia sempat memutuskan keluar dari TK tersebut karena takut sekolahan tersebut terkena efek buruk dari citra suaminya.

Baca Juga

"Ya awalnya saya sempat kan ada imbasnya kita akan ke minat karena itu masih di TK. Saya takut efeknya berimbas dari masyarakat ke TK menjadi takut untuk mendaftarkan anaknya di sana," tutur Dewi Jumat (16/9/2022).

Namun, kepala sekolah tempatnya bekerja tersebut tetap meyakinkan dan menguatkan tekadnya untuk bertahan sebagai guru. Sejalan dengan itu, Dewi berusaha membuktikan bahwa ia tidak sesuai dengan stigma yang ditimpakan kepadanya.

"Saya pernah menyampaikan untuk resign sama beliau (kepala sekolah) tapi tidak boleh. Ia bilang tidak usah minat masyarakat ke sini itu bukan karena sampeyan ga ada pengaruhnya akhirnya saya bertahan di situ," tuturnya

Selain bertahan dari gunjingan tetangganya, ia juga terasing dari tetangga sekitar rumahnya. "Ketika suami saya masih di penjara seperti terisolasi dengan tetangga. Setiap kali di luar rumah ada banyak yang bergunjing," ujarnya.

Selang beberapa tahun setelah suami Dewi keluar dari masa kurungan lima tahun dengan bebas bersyarat dari total tujuh tahun vonis kurungan. Dewi dianugerahi kembali dua buah Hati, namun nahas kabar buruk kembali menerpa keluarganya.

"Saya kan sebelumnya ngajar di TK 12 tahun lamanya tapi karena saya punya balita nomor ketiga dan ibu saya sakit butuh perawatan saya memutuskan keluar untuk mencari penghasilan menopang kebutuhan tersebut," terangnya.

Sekarang, Dewi menjelaskan bahwa ia memiliki usaha laundry. Sedangkan suaminya mempunyai usaha isi ulang air mineral. Meski demikian, Dewi menjelaskan bahwa ia masih kerja keras karena sekarang ia memiliki lima momongan.

"Anak pertama saya kelas 2 SMP 14 tahun, anak kedua 13 tahun kelas 1 SMP. Sedangkan anak ketiga ini mau jalan lima tahun, anak keempat mau tiga dan yang kelima masih beberapa pekan," kata dia.

Dewi menjelaskan bahwa tantangan utama sekarang bukan lagi stigma masyarakat. Namun pembagian waktunya untuk mengurusi keluarganya dan kerjanya serta modal untuk menaikkan kelas usahanya. "Alhamdulillah sekarang minimal 5-50 kilo. Tapi makin kesini makin banyak persaingan," tuturnya.

Dewi mengatakan dengan adanya koperasi Srikandi ia berharap dapat menguatkan silaturahim dan memperbaiki citra di dalam masyarakat. Selain itu, ia berharap dari koperasi ini bisa menjadi batu pijakannya dalam mengembangkan usahanya kedepan.

"Harapannya ini bisa eksis dulu kita bersyukur dengan dibentuk koperasi juga ajang silaturahmi. Siapa tahu bisa mendapat modal melalui koperasi ini," tegasnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement