REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ponsel pintar sudah menjadi bagian dari keseharian. Hal ini menjadi dilema bagi orang tua modern. Haruskah membiarkan anak punya ponsel pintar sendiri atau menjauhkan anak dari gawai sampai usia tertentu?
Nyatanya, ponsel pintar punya sisi positif dan negatif. Smartphone kerap dituding sebagai biang keladi anak dan remaja jarang beraktivitas fisik. Di sisi lain, ponsel juga jadi alat komunikasi, berjejaring sosial, mendapat berbagai akses, dan mencari jawaban atas beragam pertanyaan dan informasi.
Rata-rata usia kepemilikan ponsel pada anak di berbagai negara pun berbeda. Data dari Ofcom, regulator komunikasi Inggris, sebanyak 91 persen dari anak-anak di negara itu memiliki ponsel sejak usia 11 tahun.
Di Amerika Serikat, 37 persen orang tua dari anak berusia sembilan hingga 11 tahun mengatakan bahwa anak mereka sudah memiliki smartphone sendiri. Berbeda lagi dengan kondisi di Eropa.
Sebuah penelitian yang meliputi 19 negara di Eropa menunjukkan 80 persen anak berusia sembilan hingga 16 tahun sudah menggunakan smartphone. Mereka memakainya untuk aktivitas di dunia maya hampir setiap hari.
Laporan terpisah tentang penggunaan teknologi digital di Eropa menyoroti imbas ponsel terhadap anak berusia delapan tahun ke bawah. Menurut studi, kelompok usia itu punya persepsi terbatas mengenai risiko aktivitas daring.
Karena usia, sebagian lagi bahkan sama sekali tidak punya pemahaman dan kesadaran soal itu. Artinya, penggunaan gawai pada anak sejak lahir hingga delapan tahun punya efek yang cenderung merugikan dan kurang disarankan.
Sebuah penelitian di Denmark terhadap anak berusia 11 hingga 15 tahun menemukan beberapa bukti bahwa ponsel memungkinkan mereka punya mobilitas mandiri. Perangkat itu membantu anak menavigasi lingkungan yang asing.
Anak-anak yang terlibat dalam studi juga mengatakan pemakaian ponsel meningkatkan pengalaman mereka di luar rumah. Mereka bisa mendengarkan musik, mendukung kegiatan hobi dengan ponsel, sambil tetap terhubung dengan orang tua dan teman.
Fakta lain terungkap dari sebuah makalah yang diterbitkan awal 2022. Riset itu mengaitkan penggunaan media sosial dengan kepuasan hidup yang lebih rendah pada usia tertentu selama masa remaja.
Studi menganalisis data dari lebih dari 17 ribu peserta berusia antara 10 hingga 21 tahun. Hasilnya, akses media sosial yang lebih tinggi pada anak usia 11 hingga 13 tahun untuk anak perempuan, dan 14 hingga 15 tahun untuk anak laki-laki, terkait dengan tingkat kepuasan hidup yang lebih rendah setahun kemudian
Sebaliknya, penggunaan media sosial yang lebih rendah pada anak usia tersebut memprediksi kepuasan hidup yang lebih tinggi pada tahun berikutnya. Orang tua perlu mempertimbangkan sejumlah hasil riset tersebut.
Bagaimanapun, segudang penelitian tidak dapat menawarkan jawaban spesifik untuk pertanyaan "kapan waktu yang tepat memberi anak ponsel?". Itu sepenuhnya tergantung pada keputusan orang tua.
Profesor psikologi sosial dari London School of Economics, Sonia Livingstone, menyarankan orang tua cermat terhadap kondisi anak masing-masing. Penulis buku Parenting for a Digital Future itu menyoroti pentingnya pendampingan menggunakan gawai pada anak usia berapa pun.
"Untuk beberapa anak, itu bisa menjadi risiko, tetapi untuk sebagian besar anak-anak, mereka menjadi terhubung, saling berbagi, dan mengeksplorasi," ujar Livingstone, dikutip dari laman BBC, Sabtu (17/9/2022).