REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sikap nonkompromi dan nonnegosiasi pemerintah Indonesia dengan China dalam isu di perairan Natuna dinilai sangat tepat. Sikap tersebut perlu dipertahankan dan dibarengi dengan upaya yang terkoordinasi dalam menjaga hak berdaulat di wilayah yang termasuk dalam Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia.
Hal tersebut disampaikan pengamat internasional dari Universitas Pelita Harapan, Johanes Herlijanto. Ia menanggapi kabar kembalinya kapal penjaga pantai beserta kapal-kapal nelayan China di Kepulauan Natuna Utara pada 12 September.
Johanes menyatakan ketegangan antara Indonesia dan China di perairan Natuna Utara terkait dengan tumpang tindih klaim wilayah di Laut China Selatan, yang menjadi sengketa antara China, Taiwan, Filipina, Vietnam, Brunei, dan Malaysia. Indonesia sendiri tidak termasuk dalam negara yang terlibat dalam sengketa di atas.
Namun pada tahun 1993, China memaparkan sebuah peta yang memperlihatkan klaim yang menurut China didasarkan pada sejarah. Klaim kewilayahan itu ditandai dengan sembilan garis putus-putus, yang kini lebih dikenal dengan sebutan 'nine-dash line'.
"Di sanalah problem antara Indonesia–China mulai muncul, salah satu garis putus-putus tersebut berada di wilayah ZEE Indonesia di dekat kepulauan Natuna," kata Johanes kepada wartawan, Sabtu (17/9/2022).
Johanes mendapati Indonesia sebenarnya telah berupaya meminta klarifikasi dari China. Tetapi China hanya mengatakan Natuna adalah milik Indonesia dan China tidak memiliki tumpang tindih wilayah dengan Indonesia. Hanya saja, Johanes, mengamati pernyataan China jauh berbeda dari sikapnya di lapangan.
"Sebaliknya, insiden berupa masuknya kapal-kapal nelayan China dan intevensi kapal penjaga pantai China di wilayah ZEE Indonesia telah terjadi bahkan di 2010 dan 2013, meski pemerintah saat itu memilih untuk menyelesaikan permasalahan secara diam-diam, sehingga tidak menjadi perbincangan khalayak ramai," ujar ketua Forum Sinologi Indonesia itu.
Jonahes memantau sejak 2016, rangkaian insiden yang menimbulkan ketegangan antara kedua negara terus meningkat. Apalagi, pada tahun 2016 tercatat setidaknya terjadi tiga insiden. Sedangkan dalam 3 tahun terakhir ini, yakni pada tahun 2019, 2020, 2021, dan 2022 ini berbagai peristiwa yang memperuncing ketegangan terkait perairan Natuna kembali terjadi.
Johanes beranggapan China akan tetap melakukan aksi-aksi yang melibatkan kapal penjaga pantai dan kelompok-kelompok nelayannya di sekitar perairan Natuna Utara untuk mempertahankan klaim China atas wilayah yang ditandai dengan garis putus-putusnya di wilayah ZEE Indonesia di perairan tersebut.
"Ini karena berbeda dengan pada masa lampau, China kini mengakui secara jelas bahwa meski tidak memiliki sengketa wilayah kedaulatan, China memiliki tumpang tindih dengan Indonesia dalam hak-hak kelautan dan kepentingan lainnya di perairan yang kini bernama Laut Natuna Utara itu," ucap Johanes.