Ahad 18 Sep 2022 15:42 WIB

Resesi Global, Apa Efeknya pada Indonesia?

Indonesia harus memperkuat sinergi agak tak signifikan terdampak resesi global.

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Indira Rezkisari
Kelompok rentan miskin di Indonesia termasuk harus jadi perhatian ketika efek resesi global menyentuh Indonesia.
Foto: ANTARA/Rivan Awal Lingga
Kelompok rentan miskin di Indonesia termasuk harus jadi perhatian ketika efek resesi global menyentuh Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penurunan pertumbuhan ekonomi di sejumlah negara maju jadi sinyal resesi global dalam waktu dekat. Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira menyampaikan, sejumlah survei yang melibatkan berbagai pihak mulai dari regulator hingga pelaku usaha memang mengindikasikan resesi bisa terjadi paling lambat awal 2023.

"Ini bukan hanya sekedar ramalan, tapi memang sudah terjadi. Di Amerika Serikat itu terus mengalami tren penurunan pertumbuhan ekonomi, Uni Eropa juga tekanannya cukup dalam karena krisis energi dan pangan," katanya pada Republika, Ahad (18/9/2022).

Baca Juga

Pertumbuhan ekonomi AS terkontraksi 0,6 persen (yoy) pada kuartal II 2022. Sinyal resesi dari negara maju menguat menyebabkan krisis biaya hidup. Probabilitas resesi semakin tinggi terjadi karena kombinasi dari perang Ukraina-Rusia, gangguan rantai pasok, stagflasi, hiperinflasi, krisis biaya hidup.

Indonesia perlu mempersiapkan diri dan sangat perlu memperkuat sinergi agar tidak terdampak signifikan. Bhima memperingatkan, jika terjadi resesi ekonomi global, maka kondisi surplus perdagangan yang selama ini dibangga-banggakan bisa berubah jadi defisit perdagangan.

Kedua, perlunya menopang segmen rentan miskin Indonesia. Menurutnya, jumlah masyarakat yang rentan miskin cukup besar dan mereka juga terdampak cukup keras. Mereka juga rentan dan bisa turun kelas ke kelompok miskin.

"Mereka juga harus diberi perlindungan sosial, bukan hanya kelompok miskin yang diberi bantuan sosial. Tapi yang rentan miskin juga berhak dapat kompensasi dari kenaikan inflasi," katanya.

 

Ketiga, perlunya antisipasi pada tingkat suku bunga global yang tinggi. Hal tersebut dapat memicu pelarian modal asing secara signifikan dari emerging market. Investor akan lari ke negara yang menawarkan imbal hasil tinggi sehingga memaksa negara berkembang juga menaikan yield-nya agar tetap menarik.

"Makanya kita juga perlu siapkan protokol krisis, termasuk dari sisi kesiapan perbankan agar tidak menalar efeknya," katanya.

Saat suku bunga naik, maka potensi rasio kredit bermasalah bisa meningkat. Bhima memperingatkan agar tingkat kenaikan suku bunga harus diantisipasi agar terhindar dari kondisi gagal bayar seperti pada 2008 dan 1998.

Keempat, pemerintah juga harus mendukung UMKM secara all out. Mengingat UMKM adalah bantalan yang sangat efektif dalam pertahankan ekonomi. Hal ini karena sekitar 60 persen ekonomi disumbang sektor UMKM, serapan tenaga kerja juga mencapai 97 persen.

 

"UMKM ini harus all out didukung pemerintah, baik melalui pembiayaan murah, bantuan modal langsung, pendampingan, dan hingga masuk ekosistem digital agar jangkauan pasarnya bisa lebih luas," katanya.

Ia memproyeksi pada 2022, pertumbuhan ekonomi dapat dicapai di kisaran 4,7-4,9 persen (yoy). Sementara inflasi tahunan pada 2022 diproyeksi 7-7,5 persen (yoy).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement