Oleh : M.Nasir Djamil, Anggota Komisi III DPR-RI
REPUBLIKA.CO.ID, Layaknya sihir yang menghipnotis melalui mantra-mantra (red;headline) media mainstream di tanah air, insiden berdarah duren tiga yang melibatkan mantan Kepala Divisi Propam Polri (Ferdy Sambo) sebagai aktor utama masih menjadi magnet besar yang terus menyedot atensi dan perbincangan masyarakat luas. Sempat menjadi momok gelombang tsunami yang meluluh lantakkan citra dan public trust terhadap institusi Polri, insiden ini semestinya tidak hanya dilihat sebagai sebuah tragedi semata, melainkan momentum percepatan perbaikan institusi.
Keluar dari intrik dan drama yang tersikulasi sejauh ini di tengah-tengah masyarakat, dugaan extra judicial killing terhadap Brigadir Yosua idealnya di lihat dalam nafas dan kacamata evaluasi sejauh mana reformasi kultural di tubuh Polri telah berjalan. Mengapa kekerasan dan pelanggaran hukum oleh oknum Polri terus saja terjadi disemua level kepangkatan dan jabatan. Dalam kasus Ferdy Sambo, tragisnya kekerasan yang menyebabkan hilangnya nyawa diketahui pelaku dan korban ialah sesama anggota Polri dan bahkan melibatkan anggota keluarga.
Amatan dalam konteks sejauh mana reformasi kultural Polri telah berjalan menjadi sangat relevan agar ini menjadi evaluasi keseluruhan sebagai institusi sehingga kekerasan atau keberingasan tidak menjadi bagian yang permanen dalam budaya kehidupan aparat penegak hukum. Terlebih yang menjadi aktor utama saat insiden ini terjadi ialah Kepala Divisi (Kadiv) Propam Polri yang seharusnya menjadi role model digaris terdepan dalam menjaga dan menegakkan etika dan prilaku insan Bhayangkara sesuai slogan teranyar Polri Presisi.
Oleh karenanya, arus atensi dan sikap kritis publik akan lebih produktif jika diarahkan dan fokus pada pertanyaan-pertanyaan dalam ruang lingkup mengkritisi perjalanan reformasi kultural di tubuh Polri. Sehingga kasus ini setidaknya menjadi penyulut percepatan pembenahan Polri di bawah kepemimpinan Jenderal Sigit. Layaknya kata pepatah lebih baik menyalakan lilin dari pada mengutuk kegelapan.
Insiden duren tiga perlu diamati dan dipahami apakah ini murni faktor personal atau human error dikarenakan ketidakcakapan Sambo dalam mengelola amarah karena adanya isu psikologis yang dihadapi, sehingga ia tidak mampu berfikir secara sehat dan mengeksekusi ajudannya tanpa ampun.
Sebaliknya, apakah pembunuhan ini terjadi karena faktor system error dalam artian insiden ini merupakan kulminasi dari kultur militeristik dan kekerasan yang saat ini masih hidup dan bertahan dalam kultur institusi kepolisian. Mengingat kasus Sambo ini telah menyeret puluhan oknum Polri ke kursi pesakitan bahkan penerima gelar Adhi Makayasa Tahun 2010 atas nama AKP Irfan Widyanto termasuk dalam daftar nama perwira yang terancam di pecat dari institusi Bhayangkara karena terlibat dalam upaya obstruction of justice dalam insiden pembunuhan ini.
Kabar baiknya, asa dan harapan akan institusi Polri yang masih dapat diandalkan tidak runtuh begitu saja. Sadar dihadapkan dengan arus public distrust yang begitu deras, Jenderal Listyo Sigit telah mengambil langkah-langkah startegis dan meyakinkan yang mencerminkan bahwa reformasi kultural Polri telah berjalan meski belum sempurna.
Sikap tidak kompromi Kapolri terhadap pelanggaran hukum dan tindakan kriminal diartikulasikan dengan jelas dan terang dihadapan para jajarannya. Demikian juga hasil sidang etik berupa pemecatan sambo dan sejumlah perwira lainnya yang terlibat dalam upaya obstruction of justice dalam insiden pembunuhan duren tiga telah mampu mengembalikan kepercayaan publik. Hal tersebut paling tidak terpotret dalam survei LSI pada akhir agustus lalu menyebutkan 80,9% responden menilai bahwa dalam kasus Brigadir J Polri sudah cepat tanggap dan proaktif dalam merespon kegundahan dan kritik dari masyarakat.
Unfinished Business
Perkara Reformasi kultural ditubuh Polri memang bukanlah hal yang baru dan bukanlah proyek membangun candi dalam semalam. Reformasi kultural masih menjadi agenda esensial yang belum selesai (unfinished business) meski disetiap suksesi kepemimpinan Polri pembenahan kultur institusi dan anggota Polri selalu menjadi perhatian utama. Teranyar slogan Polri Presisi menjadi tanda keinginan besar Polri mereformasi dirinya kearah yang lebih humanis.
Reformasi kultural Polri pada dasarnya menghendaki adanya perubahan mindset dan culture set yang menyuluruh bagi insan bhayangkara agar bersesuaian dengan semangat democrating policing dimana cara berfikir dan bertindak setiap anggota Polri selaras dengan nilai-nilai demokrasi dan semangat penghormatan Hak Asasi Manusia (HAM). Memori kolektif masa lalu yang buruk harus hilang dalam alam sadar setiap anggota Polri dalam berinteraksi dan bertindak.
Oleh sebab itu, dengan dukungan anggaran yang besar selama ini, perubahan menyeluruh dari hulu ke hilir merupakan sebuah keharusan, meliputi proses seleksi dan rekrutmen, penyusunan kurikulum dan bahan ajar saat masa pendidikan, perspektif sebagai pengayom masyarakat saat penugasan, kepatuhan kepada atasan hanya jika bersesuaian dengan hukum dan tidak resisten atas kritik dan pengawasan dari civil society.
Terakhir, tragedi duren tiga bisa jadi hikmah untuk menjawab keinginan dan harapan kita akan hadirnya reformasi kultural di tubuh Polri secara paripurna. Bersih-bersih dan sikap tegas Jenderal Sigit bisa jadi momentum yang tepat untuk mempercepat hadirnya reformasi kultural yang presisi. Tentu hal ini dibutuhkan dukungan seluruh pemangku kepentingan di negeri ini.