REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kedua cucu Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam, Hasan dan Husain senantiasa setia dalam mendampingi ayahnya, Ali bin Abu Thalib. Mereka turut menyertai ayahnya dalam berbagai peperangan.
Dikutip dari buku Hasan dan Husain the Untold Story karya Sayyid Hasan al-Husaini, al-Hasan, al-Husain, dan saudara-saudara mereka yang lain selalu ikut bersama Ali bin Abu Thalib, dalam menghadapi semua peristiwa dan peperangan yang terjadi pada masanya. Mereka selalu hadir untuk menguatkan pendirian dan tekad sang ayah, serta melaksanakan semua tugas yang diperintahkannya, seperti memegang jabatan penting di salah satu negeri Islam.
Al-Hasan dan al-Husain awalnya tinggal di Madinah, kemudian keduanya ikut bersama sang ayah pindah ke Kufah. Dengan kebersamaan itu, keduanya pun turut bersama sang ayah dalam Perang Jamal, Perang Shiffin, dan Perang Nahrawan.
Ibnu Katsir menuturkan: “Al-Husain selalu mendampingi ayahnya dalam setiap peperangan, termasuk Perang Jamal dan Perang Shiffin. Ia seorang pemuda yang mulia dan terhormat, serta senantiasa patuh kepada ayahnya, Ali, hingga sang Khalifah ini gugur.” (Al-Bidayah wan Nihayah)
Keterlibatan al-Hasan dan al-Husain dalam berbagai peperangan tidak hanya menempa kesabaran mereka untuk dapat menghadapi berbagai situasi sulit di kemudian hari, tetapi juga menumbuhkan keberanian dan kekuatan mereka. Kesabaran mereka dibangun di atas sifat wara dan takwa, keberaniannya bertumpu pada akhlak mulia, dan kekuatannya berdiri d atas prinsip kebenaran. Lebih dari itu, keduanya mengetahui dan yakin betul bahwa ayah mereka berada di atas kebenaran.
Akidah yang mendarah daging pada al-Hasan dan al-Husain mengajarkan kepada mereka untuk menahan ucapan dan sikap terhadap para Sahabat yang terlibat dalam Perang Jamal dan Perang Shiffin. Kalaupun ada pernyataannya terkait para Sahabat tersebut, tentu sebatas kebaikan-kebaikan yang pantas dialamatkan kepada mereka.
Bagi kedua cucu Rasulullah ini, larut dalam persoalan masa lalu hanya akan memicu permusuhan yang baru dan membangkitkan kembali kedengkian terhadap salah satu kubu yang bertikai.
Al-Hasan dan al-Husain meyakini bahwa kedua kelompok Sahabat yang bertikai ketika itu termasuk orang-orang yang Allah sebutkan dalam firman-Nya:
وَاِنْ طَاۤىِٕفَتٰنِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ اقْتَتَلُوْا فَاَصْلِحُوْا بَيْنَهُمَاۚ...
“Dan apabila ada dua golongan orang-orang Mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya ....” (QS. Al-Hujurat ayat sembilan)
Makna ayat tersebut mencakup kedua belah pihak yang bertikai dari kalangan Sahabat. Maka itu, tidak bisa dihukumi kafir ataupun fasik hanya karena mereka saling membunuh dalam peperangan itu. Sebab, peperangan itu sendiri merupakan hasil ijtihad dan interpretasi mereka terhadap kondisi yang ada.
Ali bin Abu Thalib sudah menjelaskan hukum peperangan yang mereka lakukan ketika itu. Terkait para Sahabat yang terlibat dalam perang antar sesama mereka, setiap Muslim dan siapa pun yang mengaku mencintai Ahlul Bait harus memiliki akidah seperti yang dimiliki kelompok yang selamat, yang dipimpin oleh para Imam besar, di antaranya Ali dan kedua anaknya, al-Hasan dan al-Husain. Yaitu menahan ucapan dan mengontrol sikap terkait para Sahabat tersebut, serta tidak membahas terlalu jauh pertikaian yang terjadi di antara mereka. Kalaupun ada komentar tentang mereka, maka harus dalam batasan yang patut bagi kedudukan mereka.