REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah resmi menaikkan harga BBM bersubsidi jenis Pertalite dan Solar sekitar kurang lebih 30 persen. Langkah menaikkan harga BBM bersubsidi ini dinilai perlu diambil untuk menekan beban kompensasi yang akan terus meningkat.
Berkaca dari situasi yang juga pernah terjadi pada 2014, kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi 2022 disebut mempunyai potensi dampak kenaikan inflasi. Setiap 10 persen kenaikan harga BBM jenis Pertalite akan berpotensi menaikkan inflasi sekitar 0,27 persen dan memotong laju pertumbuhan ekonomi sekitar -0,06 persen.
Untuk kenaikan BBM jenis Pertalite kenaikannya sekitar 30 persen dari Rp 7.650 menjadi Rp 10.000. Artinya ada potensi dampak kenaikan inflasi hampir 1 persen dan perlambatan pertumbuhan ekonomi sekitar -0,18 persen.
Direktur PT Insight Investments Management (INSIGHT), Ria Meristika Warganda menyampaikan momen kenaikan BBM 2014 berimbas pada inflasi yang cukup berkepanjangan. Untuk itu, Ria mengingatkan para Investor agar dapat melihat kembali pengaruh kebijakan kenaikan harga BBM terhadap kinerja investasi dari instrumen investasi yang akan dipilih.
“Momen kenaikan harga BBM bersubsidi 2014 silam bisa menjadi acuan bagi para investor untuk kembali mengamati jenis instrumen investasi apa yang cenderung lebih stabil dan tidak mengalami volatilitas tinggi saat kondisi ekonomi kurang baik,” Ungkap Ria, (19/9).
Menurut Ria, salah satu pilihan instrumen investasi yang dapat diandalkan dalam kondisi ketidakpastian yaitu Reksa Dana Pasar Uang. Investor dapat mengamati kinerja Indeks Reksa Dana Infovesta Money Market Fund Index yang tetap tumbuh stabil dan tidak mengalami volatilitas yang berarti selama satu tahun setelah kenaikan harga BBM bersubsidi yang signifikan.
Selain itu, Unit Penyertaan (UP) reksa dana pasar uang juga terlihat masih tumbuh 11,4 persen pada periode yang sama. Hal ini menunjukkan strategi investasi dari berbagai investor yang beralih ke reksa dana pasar uang untuk menghindari dampak negatif dari volatilitas pasar pada masa itu.
“Mengacu pada data historis kinerja produk reksa dana di tengah kenaikan BBM, terlihat berinvestasi pada reksa dana pasar uang bisa menjadi salah satu pilihan yang baik. Terutama pada saat kondisi ekonomi dan pasar finansial masih berpotensi mengalami berbagai ketidakpastian dan volatilitas tinggi,” Jelas Ria.
Menurut Ria, INSIGHT memiliki produk reksa dana pasar uang dengan potensi imbal hasilnya yang menarik, yakni Reksa Dana Pasar Uang Insight Money (Reksa Dana I-Money). Secara historikal pertumbuhan return Reksa Dana I-Money selama satu tahun terakhir masih mengungguli benchmark Reksa Dana Pasar Uang dengan kinerja yang stabil dan tahan banting saat pasar mengalami berbagai ketidakpastian dan volatilitas yang terjadi pada tahun 2022 ini.
Selain itu menurut Ria, reksa dana yang diluncurkan pada 26 Agustus 2015 lalu ini juga sudah menunjukan historikal performa yang stabil dan tangguh. Pasalanya, produk ini telah melewati berbagai fase volatilitas pasar seperti devaluasi yuan pada 2015, perang dagang pada 2018 serta pandemi Covid-19 pada 2020. Stabilnya kinerja return dari Reksa Dana I-Money berkat mayoritas underlying asset Reksa Dana I-Money berupa efek utang yang akan jatuh tempo kurang dari 1 tahun.
Menurut Ria, efek utang yang akan jatuh tempo kurang dari 1 tahun mempunyai durasi lebih rendah daripada efek utang yang jatuh temponya lebih dari 1 tahun. Durasi yang lebih rendah ini menyebabkan sensitivitas harga terhadap perubahan suku bunga juga lebih rendah dan membuatnya lebih stabil atau less volatile.
Selain itu dengan berinvestasi pada Reksa Dana I-Money yang memiliki fitur CSR pada produknya para Investor juga berkesempatan untuk memberikan dampak sosial kepada sesama berupa bantuan dalam beragam program sosial kemanusiaan, sosial keagamaan, pendidikan, budaya, kesehatan dan pemberdayaan masyarakat. "Sehingga para Investor dapat berinvestasi sambil berkontribusi sosial kepada sesama yang membutuhkan," tutup Ria.