REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Seorang mahasiswa berinisial I yang menjadi tersangka karena membawa senjata tajam jenis belati saat unjuk rasa menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) di depan Gedung DPRD NTB, Kamis (8/9/2022), kini terancam hukuman 10 tahun penjara. Kepala Kepolisian Resor Kota Mataram Komisaris Besar Polisi Mustofa di Mataram, Senin (19/9/2022), mengatakan, ancaman hukuman tersebut sesuai dengan hasil gelar perkara yang menyatakan bahwa perbuatan I terindikasi memenuhi sangkaan pidana yang diatur dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Darurat Nomor 12/1951 tentang Kepemilikan Senjata Tajam.
"Jadi, yang bersangkutan kami proses sesuai aturan Undang-Undang Darurat terkait kepemilikan senjata tajam. Sesuai aturan pidana, dia sekarang terancam hukuman 10 tahun penjara," kata Mustofa.
Terkait penetapan status I sebagai tersangka kepemilikan senjata tajam, Mustofa meyakinkan bahwa pihaknya sudah menjalankan proses hukum sesuai prosedur. Pihaknya menangani kasus ini dengan mengedepankan sikap arif dan bijaksana.
"Tentu, kasus ini kami tangani dengan arif dan bijaksana. Masa depan seorang anak bangsa, itu harus kami kedepankan," ucapnya.
Lebih lanjut, tersangka I telah mengakui terkait kepemilikan senjata tajam tersebut. Dia juga sudah menyampaikan motivasi membawa senjata tajam saat aksi unjuk rasa.
"Katanya kebiasaan di kampung untuk jaga-jaga," kata Mustofa menirukan pengakuan I yang turut hadir dalam konferensi pers di Polresta Mataram.
Dengan adanya kasus ini, Mustofa mengingatkan masyarakat tentang aturan penyampaian aspirasi di tempat umum. Dia berharap agar masyarakat lebih mengedepankan sikap santun, tanpa mengganggu atau pun mengancam keselamatan jiwa diri maupun orang lain.
"Tidak usah membawa sajam (senjata tajam) atau apa pun itu yang bisa membahayakan orang lain dan diri sendiri. Kalau sudah seperti ini, yang rugi, yang bersangkutan (tersangka I) karena membawa (senjata tajam)," ujarnya.