REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal Kementerian Agama Nizar Ali menyatakan penguatan moderasi beragama menjadi salah satu solusi permasalahan keberagaman dan kebangsaan yang saat ini menjadi tantangan bangsa.
"Jika secara konseptual moderasi beragama sudah dipahami dan diterapkan, Insya Allah damai," ujar Nizar di Jakarta, Senin (19/9/2022).
Nizar mengatakan ada sejumlah poin yang menjadi tantangan bangsa. Pertama, berkembangnya cara, sikap, dan perilaku beragama ekstrem yang mengabaikan martabat kemanusiaan.
Kedua, berkembangnya klaim kebenaran subjektif dari tafsir agama. Menurut Nizar, tak sedikit yang menolak perbedaan dan mengklaim hanya pendapatnya yang benar, sementara yang lain salah.
"Padahal, warna warni perbedaan pemahaman mestinya menjadi sebuah kekayaan yang luar biasa," kata dia.
Ketiga, berkembangnya cara pandang, sikap, dan perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai kebangsaan. Misalnya, sikap menolak hormat kepada bendera Merah Putih saat upacara.
"Permasalahan ini penting dicarikan solusinya jika ingin menciptakan harmonisasi di tengah-tengah masyarakat. Salah satu solusinya adalah penguatan moderasi beragama," kata dia.
Penguatan moderasi beragama, kata Nizar, pada dasarnya berupaya memberikan pemahaman tentang pentingnya menghadirkan negara sebagai rumah bersama yang adil dan ramah bagi seluruh elemen bangsa.
"Dengan demikian, semuanya bisa menjalani kehidupan agama yang rukun, damai, dan makmur," kata dia.
Nizar mengatakan setidaknya ada empat penyelarasan relasi agama dan negara. Pertama, agama dan politik. Artinya, menjadikan nilai agama sebagai fatsun politik, bukan mempermainkan agama untuk kepentingan politik.
Kedua, agama dan layanan publik, maksudnya menyelenggarakan pelayanan publik secara adil dalam memenuhi hak-hak sipil tanpa diskriminasi.
Ketiga, agama dan hukum, yakni menekankan tujuan penerapan hukum untuk memenuhi hajat hidup orang banyak dan kemaslahatan tanpa memaksakan formalisasi hukum agama.
Keempat, agama dan ekspresi publik, dalam artian memberikan kebebasan beragama di ruang publik sesuai koridor hukum.
"Jangan kemudian hukum dijadikan alat untuk melegitimasi kekerasan," kata Nizar.