Selasa 20 Sep 2022 18:54 WIB

Fase Transisi, Epidemiolog Ingatkan Status Endemi Berbahaya

Endemi tidak bersifat permanen, sifatnya tidak stagnan atau dinamis.

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Indira Rezkisari
Wali Kota Bogor Bima Arya (kiri) mendengarkan penjelasan anggota Dewan Penasehat Pewarta Foto Indonesia (PFI) Pusat Hermanus Prihatna (kanan) saat Pameran Foto Bogor Dalam Bingkai 2022 di Alun-alun Kota Bogor, Jawa Barat, Kamis (15/9/2022). Pameran yang diselenggarakan Pewarta Foto Indonesia (PFI) Bogor dengan tema transisi tersebut menampilkan 55 foto tunggal dari berbagai peristiwa sosial, ekonomi, sosial budaya dalam peralihan pandemi COVID-19 menuju endemi.
Foto: ANTARA/Yulius Satria Wijaya
Wali Kota Bogor Bima Arya (kiri) mendengarkan penjelasan anggota Dewan Penasehat Pewarta Foto Indonesia (PFI) Pusat Hermanus Prihatna (kanan) saat Pameran Foto Bogor Dalam Bingkai 2022 di Alun-alun Kota Bogor, Jawa Barat, Kamis (15/9/2022). Pameran yang diselenggarakan Pewarta Foto Indonesia (PFI) Bogor dengan tema transisi tersebut menampilkan 55 foto tunggal dari berbagai peristiwa sosial, ekonomi, sosial budaya dalam peralihan pandemi COVID-19 menuju endemi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman mengakui, pandemi Covid-19 di Indonesia yang kini transisi ke endemi sudah sesuai jalur (on the track). Kendati demikian, status endemi ternyata tidak aman dan berbahaya.

Dicky mengakui, Indonesia saat ini ada di masa transisi dan on the track menuju satu fase akhir pandemi. Ini terlihat dari kondisi yang membaik, tidak membebani global dunia antara lain dari modal imunitas, hingga cakupan vaksinasi dua dan tiga dosis yang di atas 70 persen.

Baca Juga

"Itu menjadi satu hal yang harus dituju. Kita memang sudah on the track," ujarnya saat dihubungi Republika, Selasa (20/9/2022).

Di fase transisi ini, ia juga melihat angka keparahan orang terinfeksi Covid-19 masuk ruang intensif (ICU) rumah sakit  dan kematian signifikan menurun. Kendati demikian, Dicky mengingatkan status Covid-19 menjadi endemi tidak menjadi target. Sebab, dia mengingatkan, endemi berbahaya dan tak aman. Ia menyontohkan cacar monyet yang kini juga tengah terjadi bisa menjadi contoh nyata bahwa status endemi bisa jadi epidemi.

"Endemi itu tak stagnan atau dinamis yang bisa menjadi masalah yang merugikan dari artian aspek kematian maupun beban fasilitas kesehatan," katanya.

Dicky meminta yang harus dituju adalah status terkendali. Arti terkendali bisa dilihat dari serangkaian kriteria yang ada seperti vaksinasi, kemampuan mendeteksi, surveilans maupun aspek penguatan sistem kesehatan yang jadi sangat penting.

Lebih lanjut Dicky menjelaskan, ketika berbicara satu pandemi dan keluar dari satu krisis, modal utamanya adalah penguatan sistem kesehatan yang tak hanya mendeteksi melainkan juga merespons kalau ada kasus Covid-19 hingga memperbaiki sistem rujukannya. Ketika status terkendali dan seseorang terpapar Covid-19, ia tak mendapatkan stigma, tidak takut lagi tak mendapatkan obat, tak ada tempat tidur di rumah sakit atau tak takut fatalitas.

Menurut Dicky, situasi terkendali seperti ini belum terjadi di Indonesia. "Bahkan dunia juga belum," ujarnya.

Dicky mengakui, vaksin Covid-19 memang mencegah fatalitas dan keparahan tapi masih ada isu durasi relatif singkat dan belum bisa mencegah penularan virus. Oleh karena itu meski sudah on the track, ia mengingatkan pemerintah jangan merasa menang dan buru-buru menyatakan pandemi berakhir. Padahal, faktanya belum. Ia khawatir ini yang akhirnya membuat situasi memburuk, artinya kematian bisa sangat tinggi dan bisa terjadi perubahan karakter varian virus yang merugikan karena menurunkan efikasi antibodi.

"Kemudian, yang menjadi korban (Covid-19) adalah orang dan kelompok rawan.  Bahkan tokoh besar kita baru-baru ini menjadi korban," katanya.

Dicky mengingatkan, ini menjadi contoh nyata bahwa pandemi Covid-19 masih jadi ancaman. Artinya meski kondisi membaik, faktanya belum memasuki garis selesai.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement