REPUBLIKA.CO.ID, KOLOMBO -- Para Aktivis menyatakan, Muslim Sri Lanka tidak diakui secara resmi sebagai pengungsi internal, dan mereka menerima sedikit bantuan pemerintah untuk bermukim kembali setelah 26 tahun perang saudara.
Meskipun populasi Muslim meningkat, beberapa orang takut akan pembalasan oleh orang Tamil, jika mereka mencoba untuk merebut kembali tempatnya di negara itu.
Salah satunya Rasika Rajabdi yang baru berusia delapan tahun pada 1990. Saat itu dia dan keluarganya dipaksa keluar dari kampung halaman leluhur mereka Mullaittivu di provinsi utara Sri Lanka oleh pemberontak bersenjata selama perang saudara di negara itu.
Anak muda itu dan orang tuanya menghabiskan beberapa bulan di sebuah kamp untuk pengungsi internal di kota pesisir barat Puttalam. Itu terjadi sebelum pindah ke rumah kontrakan di daerah tersebut.
Kemudian, perang berakhir pada 2009 setelah 26 tahun. Rajabdi, yang telah menikah saat itu, dapat kembali ke Mullaittivu bersama suami dan orang tuanya pada 2012.
Alih-alih kepulangan yang bahagia, tetangga Tamilnya tidak senang melihatnya lagi. Dia mengatakan, tetangganya memanggilnya orang luar.
“Mereka tidak pernah mengharapkan kita untuk kembali. Mereka tidak pernah ingin kami bermukim kembali di tempat kami seharusnya berada,” kata Rajabdi, dilansir dari laman South China Morning Post pada Selasa (20/9).
Lebih dari 300 ribu orang Hindu Tamil mengungsi dalam perang antara tentara Sri Lanka dan sebuah kelompok pemberontak bersenjata yang ingin membentuk negara merdeka bagi orang Tamil, Liberation Tigers of Tamil Eelam (LTTE).
Sementara itu, LTTE tidak menganggap sebagian besar Muslim berbahasa Tamil dapat dipercaya. Hal ini karena banyak dari mereka adalah bagian dari apa yang disebut penjaga rumah, pasukan paramiliter yang dikerahkan oleh kementerian pertahanan Sri Lanka di provinsi utara dan timur selama 1990-an.