REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani Keputusan Presiden (Keppres) RI Nomor 17 Tahun 2022 tentang pembentukan tim penyelesaian non-yudisial pelanggaran hak asasi manusia yang berat masa lalu. Keppres ini diteken pada 26 Agustus 2022 lalu.
Pembentukan tim penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM (Tim PPHAM) berat masa lalu ini, dilakukan dengan mempertimbangkan bahwa pelanggaran HAM berat masa lalu belum terselesaikan secara tuntas hingga kini. Sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Perlindungan, pemajuan penegakan, dan pemenuhan HAM pun merupakan tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
Dalam Pasal 2 disebutkan bahwa Tim PPHAM berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Tim PPHAM ini terdiri dari Tim Pengarah dan Tim Pelaksana.
Berikut susunan keanggotaan Tim Pengarah:
Ketua: Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan
Wakil Ketua: Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan
Anggota: 1). Menteri Hukum dan HAM, 2). Menteri Keuangan, 3). Menteri Sosial, dan 4). Kepala Staf Kepresidenan.
Sedangkan susunan keanggotaan Tim Pelaksana terdiri dari:
Ketua: Makarim Wibisono
Wakil Ketua: Ifdhal Kasim
Sekretaris: Suparman Marzuki
Anggota: 1. Apolo Safanpo, 2. Mustafa Abubakar, 3. Harkristuti Harkrisnowo, 4. As’ad Said Ali, 5. Kiki Syahnakri 6. Zainal Arifin Mochtar, 7. Akhmad Muzakki, 8. Komaruddin Hidayat, dan 9. Rahayu.
Tim PPAHM ini memiliki tugas untuk melakukan pengungkapan dan upaya penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu, berdasarkan data dan rekomendasi yang ditetapkan Komisi Nasional HAM sampai 2020. Tim PPAHM juga bertugas untuk merekomendasikan pemulihan bagi korban atau keluarganya, serta merekomendasikan langkah untuk mencegah pelanggaran HAM berat tidak kembali terulang di masa yang akan datang.
Dalam melaksanakan tugasnya, Tim PPAHM menggunakan anggaran dari APBN melalui Bagian Anggaran Kemenko Polhukam.
“Biaya pelaksanaan rekomendasi dibebankan pada masing-masing kementerian/lembaga sesuai tugas pokok dan fungsi,” bunyi Pasal 16 ayat (2).
Berdasarkan penyelidikan Komnas HAM, hingga saat ini tercatat ada 13 peristiwa pelanggaran HAM berat yang belum diselesaikan. Sembilan peristiwa di antaranya merupakan pelanggaran HAM berat masa lalu.
Yakni peristiwa 1965/1966; peristiwa penembakan misterius 1983-1984; peristiwa Talangsari 1989; peristiwa Mei 1998; peristiwa penghilangan paksa 1997/1998; peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II 1998-1999; peristiwa Dukun Santet 1999; peristiwa Rumoh Geudong Aceh 1998; dan peristiwa Simpang KKA Aceh 1999.
Sedangkan empat peristiwa lainnya terjadi setelah tahun 2000, yaitu peristiwa Wasior 2001, peristiwa Wamena 2003, peristiwa Jambo Keupok 2003, dan peristiwa Paniai 2014.