REPUBLIKA.CO.ID, SOLO – Pakar Kebijakan Publik sekaligus Guru Besar Universitas Muhammadiyah Solo (UMS) Anton Agus Setyawan menilai program pemerintah terkait konversi elpiji 3 kilogram ke kompor listrik ditengarai kelebihan pasokan tenaga listrik. Anton menduga kebijakan pemerintah tersebut seperti sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Artinya pemerintah mencoba mencari solusi menangani kenaikan harga BBM sekaligus kelebihan suplai listrik.
"Saya menduga kebijakan ini karena sekarang terjadi kenaikan harga BBM otomatis juga ke gas pengaruhnya. Meskipun harga gasnya lebih murah tapi ada tren kenaikan," terangnya ketika dihubungi, Rabu (21/9/2022).
Menurut Anton kebijakan tersebut dikarenakan adanya pembengkakan pasokan atau over supply listrik. Sumbernya adalah adanya sembilan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) oleh PT PLN 2010 lalu.
"Dugaan saya tahun 2010 ada peraturan pemerintah (PT PLN) membangun PLTU dengan batubara sehingga terjadi over supply. Setidaknya sampai 2030 kita mengalami over supply listrik," terangnya.
Namun, Anton menilai kebijakan pemerintah tersebut terkesan terburu-buru. Sebab menurutnya tidak ada keterkaitan isu antara over supply dan konversi Elpiji 3 kilo.
"Nah ini biasa ya pemerintah itu selalu mencari jalan yang gampang untuk mengatasi (masalah) seperti oversupply, ya sudah konversi saja dari kompor Elpiji ke kompor listrik toh nanti akan ada suplai listrik yang banyak bisa teratasi," terangnya.
Berkaca dari konversi minyak tanah ke gas Elpiji 3 kg 2008 lalu. Anton mengatakan proses pemerataan akan memakan waktu beberapa tahun.
"Memang prosesnya tidak gampang, butuh 2-3 tahun dengan berbagai hal. Yang biasa dilakukan pemerintah akan menyiapkan kompor listriknya baru setelah itu menghentikan penjualan (gas LPG). Sama dulu juga minyak tanah dijual dengan harga 45 ribu sehingga orang (kelas menengah ke bawah) tidak bisa beli," katanya.
Selain itu, Anton mengatakan distribusi kompor listrik akan dilakukan setelah ada pengurangan pasokan gas Elpiji 3 kg. Namun ada kemungkinan beberapa elemen masyarakat kembali menggunakan alternatif lain sebagai pengganti gas Elpiji.
"Nanti distribusinya akan dipikir belakangan mirip seperti dulu. Kalau dulu itu di daerah Gunung Kidul itu sampai 3-4 tahun tidak mau mengadopsi kompor gas dan memilih kembali ke kayu bakar," terangnya.
Selain itu, persoalan keterjangkauan listrik di daerah juga perlu dilakukan pengkajian. Pasalnya tidak semua daerah terjangkau listrik apalagi penggunaan kompor listrik yang mencapai 1.000 watt.
"Saya kira tidak semua daerah terjangkau listrik jadi perlu dipikirkan lagi. Apalagi dikatakan listriknya 1.000 watt sementara nanti kalau rumah tangga menengah ke bawah tenaga listriknya kan 450 watt. Ini bagaimana logikanya nanti yang akan diterapkan (pemerintah)," pungkasnya.