REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Syamsul Yakin
Syaikh Nawawi, dalam karya terbaik beliau tentang akidah, yakni Fathul Majid, menceritakan kisah Imam Abu Hanifah yang mampu mematahkan argumentasi seorang penganut atheis, padahal Abu Hanifah kala itu masih anak-anak.
Diceritakan Imam Hammad, gurunya Imam Abu Hanifah kebingungan menjawab pertanyaan seorang atheis, "Apakah Allah itu ada? Kalau ada di mana tempatnya?" Para ulama menjawab, "Allah tidak bertempat". Atheis itu bertanya lagi, "Bagaimana mungkin yang berwujud tidak memiliki tempat." Para ulama diam seribu bahasa.
Seluruh ulama pada masa itu sudah dibungkam oleh sang atheis kecuali Imam Hammad. Singkat cerita, berangkatlah Imam Hammad dengan membawa serta Imam Abu Hanifah untuk bertemu atheis itu. Pertemuan antara Imam Hammad dan sang atheis difasilitasi oleh khalifah. Lalu sang atheis bertanya, "Siapakah yang dapat menjawab pertanyaanku?" Tak dinyana, Imam Abu Hanifah menjawab, "Bertanyalah, siapapun berhak menjawab pertanyaanmu." Kontan sang atheis bertanya balik, "Siapa kamu anak kecil, beraninya berbicara kepadaku."
Tak sabar sang atheis bertanya, "Apakah kamu mampu menjawab pertanyaanku?" Imam Abu Hanifah menjawab, "Dengan pertolongan Allah, aku akan menjawab pertanyaanmu." "Apakah Allah itu ada?", tanya sang atheis. Imam Abu Hanifah menjawab pendek, "Ada." Sang atheis bertanya lagi, "Dimana Dia?" Imam Abu Hanifah menjawab, "Dia tidak bertempat." Sang atheis menyergah, "Bagaimana mungkin ada sesuatu yang berwujud tidak memiliki tempat?"
Pertanyaan inilah yang membuat para ulama bungkam. Namun tak dinyana, Imam Abu Hanifah balik bertanya kepada sang atheis, "Apakah di jasadmu ada ruh?" Sang atheis menjawab, "Ada." "Kalau begitu di manakah letak ruhmu? Apakah di kepalamu, di perutmu, ataukah di kakimu?" tanya Imam Abu Hanifah.
Seperti halnya para ulama yang kebingungan menjawab pertanyaan sang atheis, kini giliran dia yang bungkam seribu bahasa karena tidak mampu menjawab pertanyaan Imam Abu Hanifah. Melihat sang atheis kebingungan, Imam Abu Hanifah meminta tolong agar dibawakan susu. Setelah susu itu berada di tangannya, Imam Abu Hanifah bertanya lagi kepada sang atheis, "Apakah pada susu ini ada lemak?" Dengan sigap sang atheis menjawab, "Ada."
Kemudian Imam Abu Hanifah mencecar sang atheis dengan pertanyaan, "Dimanakah letak lemaknya? Apakah pada bagian atasnya atau pada bagian bawahnya?" Lagi-lagi sang atheis kebingungan. Dia malu dikalahkan seorang anak kecil.
Perhelatan itu kemudian ditutup dengan perkataan Imam Abu Hanifah yang penuh pesona, "Seperti halnya tidak ditemukan satu tempat untuk ruh di dalam tubuh dan tidak juga ditemukan untuk lemak di dalam susu, seperti itu pula tidak ditemukan untuk Allah satu tempat di alam semesta."
Terakhir, tentang ayat, "(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas Arsy" (QS Thaha/20: 5). Dalam Tafsir Munir, Syaikh Nawawi menjelaskan yang dimaksud bersemayam pada ayat ini adalah ungkapan mazas yang mengilustrasikan kerajaan dan kekuasan , seperti seorang raja yang duduk di atas singgasana untuk mengatur kerajaannya. Jadi ayat ini menggambarkan kehendak Allah yang menginginkan untuk menciptakan alam semesta kemudian mengaturnya.