REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengkajian Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI menyoroti proses suksesi kepemimpinan di Indonesia yang sistemnya sudah mengarah pada demokrasi liberal individualistik. Sistem ini disebut membuat proses pemilu menjadi sangat mahal.
Ketua Badan Pengkajian MPR Djarot Saiful Hidayat mengatakan, sistem demokrasi yang diterapkan saat ini telah memaksa calon kepala daerah ataupun calon anggota legislatif mengeluarkan biaya besar. "Sekarang untuk jadi kepala desa saja biayanya bisa sampai 500 juta atau Rp 1 miliar lebih," ujarnya usai bertemu Komisioner KPU di Jakarta, Rabu (21/9).
Karena itu, Badan Pengkajian MPR mewacanakan untuk merombak sistem pemilu Indonesia. Pertama, Djarot mengusulkan untuk menerapkan pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara tidak langsung. Bisa jadi hanya gubernur yang dipilih langsung, atau hanya bupati/wali kota yang dipilih langsung oleh rakyat.
Menurut Djarot, pilkada tidak langsung bisa mengurangi pengeluaran negara maupun biaya yang digelontorkan calon kepala daerah. Adapun pilkada langsung seperti saat ini sudah terbukti berbiaya tinggi. Untuk gelaran Pemilu Serentak 2024, negara harus menggelontorkan dana sekitar Rp 100 triliun.
Para calon kepala daerah juga harus menyediakan dana miliaran rupiah. Untuk mengganti biaya pemilihan nan mahal itu, akhirnya banyak kepala daerah yang melakukan praktik korupsi setalah menjabat. "Salah satu dampak negatif (pilkada langsung berbiaya tinggi) adalah banyak kepala daerah yang terjerat kasus korupsi," kata politisi PDIP itu.
Djarot menyebut, penerapan pilkada tidak langsung sudah ada contoh suksesnya, yakni di DKI Jakarta. Masyarakat Jakarta hanya memilih gubernur, sedangkan wali kota dan bupati ditunjuk. "(Buktinya Jakarta) aman, bagus, tidak ada masalah," ucap eks Gubernur DKI Jakarta itu.
Kedua, Badan Pengkajian MPR bersama KPU mempertimbangkan menerapkan kembali sistem proporsional tertutup dalam pemilihan legislatif (pileg). Sebab, sistem proporsional terbuka yang digunakan saat ini berbiaya mahal dan sarat dengan praktik politik uang.
"Perlu dikaji untuk (penerapan) proporsional murni atau proporsional tertutup. Dengan cara itu, praktik politik uang yang berbiaya mahal bisa diturunkan," kata Djarot.
Dalam sistem proporsional tertutup, pemilih hanya mencoblos partai politik. Selanjutnya, partai politik akan menentukan siapa anggota legislatif yang bakal duduk di parlemen.
Sedangkan, dalam sistem proporsional terbuka, pemilih dapat mencoblos partai politik atau nama calon anggota legislatif yang diinginkan di kertas suara. Sistem proporsional terbuka ini mulai diterapkan di Indonesia sejak Pemilu 2009.
Menurut Djarot, dengan kembali ke sistem proporsional tertutup, maka persaingan antarcalon anggota legislatif di intrapartai akan jadi lebih adil. "Mereka-mereka yang sekarang ngurusin partai luar biasa, berkorban luar biasa, kemudian pada saat pencalonan kalah sama orang baru yang membawa duit karena amplopnya lebih tebal, ini tidak fair," ujarnya.
Dia menambahkan, sistem proporsional tertutup juga bakal mempermudah kerja KPU. Pasalnya, KPU hanya perlu mencetak kartu suara berdasarkan partai politik tanpa disertai nama calon.
"Kami juga amat terkejut dengan sistem seperti saat ini format kartu suaranya, KPU akan mencetak ada 2.593 model jenis berbeda-beda. Bayangkan, apa enggak pusing dengan waktu yang sangat singkat, di seluruh dapil," katanya.
Djarot mengatakan, Badan Pengkajian MPR akan mengkaji secara serius wacana penerapan pilkada tidak langsung dan sistem pemilihan proporsional tertutup. Ia menargetkan proses pengkajian rampung dalam tahun ini. Hasil kajian itu selanjutnya akan jadi rekomendasi MPR.