Kamis 22 Sep 2022 16:40 WIB

Sidang Kasus Paniai Dinilai Janggal

Koalisi Masyarakat Sipil menilai ada sejumlah kejanggalan dalam sidang kasus Paniai.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Bilal Ramadhan
Anggota YLBHI Julius Ibrani (kiri) dari Koalisi Masyarakat Sipil menilai ada sejumlah kejanggalan dalam sidang kasus Paniai.
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Anggota YLBHI Julius Ibrani (kiri) dari Koalisi Masyarakat Sipil menilai ada sejumlah kejanggalan dalam sidang kasus Paniai.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi Masyarakat Sipil Pemantau Paniai 2014 menemukan adanya beberapa kejanggalan dalam sidang kasus HAM berat di Pengadilan Negeri Makassar tersebut. Koalisi mendasari pendapatnya berdasarkan pemantauan pada sidang perdana yang berlangsung pada Rabu (21/9).

Koalisi meyakini serangan dalam peristiwa Paniai pastinya melibatkan lebih dari satu pelaku. Apalagi hukum dan standar internasional yang berlaku untuk kejahatan terhadap kemanusiaan dengan jelas menyatakan bahwa baik mereka yang memiliki tanggungjawab komando maupun mereka yang secara langsung melakukan kejahatan harus dimintai tanggung jawab pidana.

Baca Juga

Penyelidikan Komnas HAM pun membagi para terduga pelaku dalam beberapa kategori, yaitu pelaku lapangan, komando pembuat kebijakan, komando efektif di lapangan, dan pelaku pembiaran.

"Secara logika, penanggungjawab komando bertanggungjawab atas kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh bawahannya," kata Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Julius Ibrani selaku bagian dari Koalisi pada Kamis (22/9/2022).

Koalisi mengingatkan konteks pertanggungjawaban komando tidaklah berhenti pada orang yang memberikan perintah saja. Melainkan termasuk pertanggungjawaban atasan yang tidak mencegah atau menghentikan tindakan pelanggaran HAM yang berat atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.

Oleh karena, Koalisi meyakini sudah sepatutnya dakwaan tidak hanya menyasar IS sebagai Perwira Penghubung tetapi juga menyasar pada atasannya.

"Pada titik ini, Jaksa tidak boleh terkesan melindungi pelaku dengan tidak menuntut pelaku yang jelas sangat potensial melanggar HAM. Sudah sepatutnya Jaksa turut menuntut pimpinan TNI yang bertanggungjawab dan kepala Operasi Aman Matoa V sebagaimana juga terang dijelaskan dalam laporan penyelidikan Komnas HAM," ujar Julius.

Koalisi mendesak seharusnya Jaksa memulai dengan membuktikan pelaku lapangan telah melakukan kejahatan kemanusiaan. Hal ini menurut Koalisi penting untuk mengurai unsur-unsur sistematik dan meluas sebagai unsur penting yang membedakan antara tindak pidana biasa dengan tindak pidana kejahatan kemanusiaan.

"Untuk menilai tindakan komandan sebagai pemegang komando dapat bertanggung jawab dalam sebuah tindak pidana kejahatan kemanusiaan adalah ketika tindakan-tindakan prajurit (pelaku lapangan) telah memenuhi unsur-unsur kejahatan kemunsiaan, khususnya unsur sistematik atau meluas," ucap Julius.

Selain itu, Koalisi mempertanyakan mengapa tindak pidana perintangan keadilan luput dari proses hukum saat ini. Dengan dasar itu, Koalisi menilai dakwaan Kejaksaan Agung telah mengaburkan konstruksi hukum kejahatan terhadap kemanusiaan di kasus Paniai, salah satunya dengan hanya menetapkan IS sebagai satu-satunya terdakwa yang bahkan akan merugikan hak asasi dirinya karena bisa saja sebatas dijadikan “kambing hitam”.

"Koalisi menyayangkan efek dari keputusan ini (tidak menahan terdakwa). Memang di satu sisi, menggunakan seminimal mungkin upaya paksa seperti penahanan adalah peradilan yang baik. Namun di sisi lain, masyarakat Indonesia dapat melihat bahwa pada kenyataannya penahanan lebih sering diberikan kepada Tersangka/Terdakwa yang berasal dari kalangan masyarakat kecil dengan tindak pidana yang lebih sederhana daripada kejahatan terhadap kemanusiaan," ungkap Julius.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement