REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan seorang pengacara bernama Yosep Parera (YP) sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap penanganan perkara di Mahkamah Agung (MA). Namun, Yosep menilai, dirinya merupakan korban dari buruknya sistem proses peradilan di Indonesia.
"Inilah sistem yang buruk di negara kita, di mana setiap aspek dari tingkat bawah sampai tingkat atas itu harus mengeluarkan uang. Salah satu korbannya adalah kita," kata Yosep usai diperiksa KPK, Jumat (23/9/2022).
Yosep memang mengakui perbuatannya bersama seorang pengacara bernama Eko Suparno, telah memberikan sejumlah uang suap kepada pihak MA. Uang itu untuk memuluskan keinginan kliennya agar pengajuan kasasi di tingkat MA terkait Koperasi Simpan Pinjam Intidana bisa dinyatakan pailit.
"Saya dan Mas Eko sebagai lawyer mengakui secara jujur menyerahkan uang di Mahkamah Agung. Tapi kami tidak tahu dia panitera atau bukan," ungkap dia.
"Intinya, kami akan buka semua, kami siap menerima hukumannya karena itu ketaatan kami. Sebagai penegak hukum kami merasa moralitas kami sangat rendah, kami bersedia untuk dihukum yang seberat-beratnya. Dan harapan pada semua pengacara, tidak mengulangi hal-hal seperti ini," imbuhnya.
Yosep menegaskan, pihaknya memberikan uang suap itu karena memang diminta oleh pihak MA. Namun, ia enggan memerinci siapa sosok yang meminta uang tersebut. Dia hanya menyebut, dirinya tidak mengenal Hakim Agung MA, Sudrajad Dimyati.
"Ada permintaanlah," ujarnya. "Saya tidak kenal sama hakim agungnya," tambah Yosep menjelaskan.
Sebelumnya, KPK mengungkapkan, Hakim Agung Mahkamah Agung (MA), Sudrajad Dimyati (SD) diduga menerima sejumlah uang suap untuk memenangkan gugatan perdata di Pengadilan Negeri Semarang. Gugatan ini diajukan oleh dua Debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana (ID), Heryanto Tanaka (HT) dan Ivan Dwi Kusuma Sujanto (IDKS).
"Gugatan perdata terkait dengan aktivitas dari koperasi simpan pinjam ID di Pengadilan Negeri Semarang yang diajukan HT dan IDKS dengan diwakili melalui kuasa hukumnya, yakni YP (Yosep Parera) dan ES (Eko Suparno)," kata Ketua KPK, Firli Bahuri di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat (23/9/2022).
Firli menjelaskan, kasus dugaan suap ini berawal saat HT dan IDKS belum puas dengan keputusan persidangan di tingkat pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. Keduanya pun melanjutkan upaya hukum berikutnya dengan mengajukan kasasi pada Mahkamah Agung (MA) pada tahun 2022. Pengajuan itu dilakukan melalui YP dan ES yang masih dipercaya sebagai kuasa hukum HT dan IDKS.
Dalam pengurusan kasasi ini, diduga YP dan ES melakukan pertemuan dan komunikasi bersama beberapa pegawai di Kepaniteraan Mahkamah Agung yang dinilai mampu menjadi penghubung hingga fasilitator dengan majelis hakim yang nantinya bisa mengondisikan putusan sesuai dengan keinginan YP dan ES. Adapun pegawai yang bersedia dan bersepakat dengan YP dan ES, yaitu Desy Yustria (DY). Kesepakatan itu ditandai dengan adanya pemberian sejumlah uang.
Selanjutnya, DY turut mengajak dua rekannya di MA, yakni Muhajir Habibie (MH) dan Elly Tri Pangestu (ETP) untuk ikut serta menjadi penghubung penyerahan uang ke majelis hakim. "DY dan kawan-kawan diduga sebagai representasi dari SD dan beberapa pihak di Mahkamah Agung untuk menerima uang dari pihak-pihak yang mengurus perkara di Mahkamah Agung," ungkap Firli.
Terkait sumber dana yang diberikan YP dan ES kepada majelis hakim berasal dari HT dan IDKS. Jumlah uang yang diserahkan secara tunai oleh YP dan ES pada DY sejumlah sekitar 202 ribu dolar Singapura atau setara Rp 2,2 miliar.
Uang miliaran rupiah itu kemudian DY bagikan ke beberapa pihak. DY menerima Rp 250 juta. Kemudian, MH menerima sekitar Rp 850 juta, serta ETP menerima Rp 100 juta. "Dan SD menerima sekitar sejumlah Rp 800 juta yang penerimaannya melalui ETP," tutur Firli.
"Dengan penyerahan uang tersebut, putusan yang diharapkan YP dan ES pastinya dikabulkan dengan menguatkan putusan kasasi sebelumnya yang menyatakan KSP ID pailit," imbuhnya.