Jumat 23 Sep 2022 14:10 WIB

AS Berusaha Perkuat Tekanan ke Junta Myanmar

AS serukan masyarakat internasional tak mengakui pemilu Myanmar.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Friska Yolandha
Amerika Serikat (AS) sedang berupaya memperkuat tekanan kepada junta Myanmar melalui PBB.
Foto: the diplomat/reuters/Ap
Amerika Serikat (AS) sedang berupaya memperkuat tekanan kepada junta Myanmar melalui PBB.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Amerika Serikat (AS) sedang berupaya memperkuat tekanan kepada junta Myanmar melalui PBB. Washington menyerukan masyarakat internasional untuk tidak mengakui pemilu yang diorganisasi oleh militer Myanmar.

“Ada pengakuan luas bahwa rezim (junta Myanmar) perlu merasakan lebih banyak tekanan,” kata Penasihat Departemen Luar Negeri AS Derek Chollet, Kamis (22/9/2022), dilaporkan Channel News Asia. Chollet adalah diplomat AS yang memimpin diplomasi AS terkait Myanmar selama perhelatan sidang Majelis Umum PBB ke-77.

Baca Juga

Chollet meluapkan kemarahannya atas laporan serangan udara militer Myanmar yang menewaskan 11 siswa sekolah di wilayah Sagaing baru-baru ini. Dia melakukan komunikasi dengan Pemerintah Persatuan Nasional atau National Unity Government (NUG), yakni pemerintahan bayangan Myanmar yang beranggotakan tokoh-tokoh dari partai National League for Democracy (NLD). NLD adalah partai yang dipimpin Aung San Suu Kyi.

Selain itu, Chollet pun mengadakan pertemuan virtual dengan perwakilan kelompok etnis bersenjata di Myanmar. Menurut Chollet, dia turut berbicara dengan sejumlah negara tentang kemungkinan menerbitkan resolusi terkait Myanmar di Dewan Keamanan PBB. Namun ia mengatakan upaya itu masih tahap awal dengan spesifik yang belum jelas.

“Kami pikir kami harus realistis dalam semua masalah tentang seberapa jauh Rusia dan China bersedia membiarkan Dewan (Keamanan PBB) mengambil tindakan. Kami pikir penting untuk mencoba,” kata Chollet.

Selain itu, Chollet telah meminta negara-negara agar tidak memberikan “rasa kredibilitas” pada pemilu yang direncanakan digelar militer Myanmar. “Saya mengatakan kepada mereka bahwa kita tidak melihat peluang bahwa pemilu ini bisa bebas dan adil, mengingat fakta bahwa rezim tidak menguasai sebanyak setengah wilayah, ada tahanan politik yang dikurung dan dibunuh, serta Aung San Suu Kyi pada dasarnya dalam isolasi dan tidak ada yang melihatnya selama 20 bulan,” ucapnya.

Pada Februari 2021, militer Myanmar diketahui melakukan kudeta terhadap pemerintahan sipil Myanmar yang dipimpin Aung San Suu Kyi. Selain Suu Kyi, militer Myanmar turut menangkap mantan presiden Win Myint, dan beberapa tokoh senior partai NLD.

Kudeta dan penangkapan sejumlah tokoh itu merupakan respons militer Myanmar atas dugaan kecurangan pemilu yang digelar pada November 2020. Dalam pemilu itu, NLD menang telak dengan mengamankan 396 dari 476 kursi parlemen yang tersedia. Itu merupakan kemenangan kedua NLD sejak berakhirnya pemerintahan militer di sana pada 2011.

Setelah mengambil alih pemerintahan sementara, militer Myanmar melayangkan sejumlah dakwaan terhadap Suu Kyi. Dakwaan tersebut antara lain melakukan kecurangan pemilu, kepemilikan walkie-talkie ilegal, melanggar pembatasan sosial Covid-19, menghasut, dan lima tuduhan korupsi. Atas kasus-kasus tersebut, Suu Kyi sudah menerima vonis hukuman 20 tahun penjara.

Sementara itu, tak lama setelah melakukan kudeta, gelombang demonstrasi terjadi di banyak wilayah di Myanmar. Warga turun ke jalan dan menyuarakan penentangan mereka atas aksi kudeta yang dilakukan militer. Junta Myanmar merespons aksi unjuk rasa dengan represif dan brutal. Hampir 2.300 warga sipil yang berpartisipasi dalam demonstrasi menentang kudeta tewas di tangan tentara-tentara Myanmar.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement