REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR Arsul Sani menanggapi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan satu hakim agung dan empat pegawainya sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap penanganan perkara di Mahkamah Agung (MA). Menurutnya, kasus tersebut harus menjadi bagian evaluasi dari pembenahan di tubuh MA.
Pasalnya, pihaknya kerap menerima aduan dan laporan dari masyarakat bahwa sejumlah putusan kerap tak adil. Bahkan, beberapa di antaranya salah secara hukum.
"MA perlu melakukan pembenahan mental dan kultur hakim maupun ASN non hakim," ujar Arsul kepada wartawan, Jumat (23/9/2022).
Putusan hakim yang salah, tentu akan menabrak keadilan bagi masyarakat. Karenanya, MA perlu segera melakukan pembenahan terhadap para hakimnya, salah satunya dengan menggandeng Komisi Yudisial (KY).
"Sebenarnya MA bisa memanfaatkan KY lebih maksimal untuk mencuci yang kotor-kotor di jajaran peradilan, termasuk di MA sendiri," ujar Arsul.
MA angkat bicara setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan satu hakim agung dan empat pegawainya sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap penanganan perkara di MA.
Juru Bicara MA, Andi Samsan Nganro mengaku bahwa pihakna akan bersikap kooperatif terhadap penanganan kasus tersebut. Sebagai informasi, KPK telah menetapkan 10 tersangka dalam kasus dugaan suap penanganan perkara di MA.
Lima diantaranya merupakan pejabat dan staf di MA. Mereka adalah Hakim Agung MA Sudrajad Dimyati (SD); Hakim Yudisial/Panitera Pengganti MA Elly Tri Pangestu (ETP); dua orang PNS pada Kepaniteraan MA, Desy Yustria (DY) dan Muhajir Habibie (MH); serta dua PNS MA, yaitu Redi (RD) dan Albasri (AB).
"Sehubungan dengan penetapan tersangka dan pemanggilan salah seorang hakim agung, Bapak Sudrajad Dimyati, bagi Mahkamah Agung bersikap kooperatif dan menyerahkan kepada mekanisme proses hukum yang menjadi kewenangan KPK," kata Andi Samsan dalam konferensi pers secara daring, Jumat (23/9/2022).