Digusur, Pedagang TSTJ Minta Audiensi
Rep: c02/ Red: Fernan Rahadi
Pengunjung melintas di bawah dekorasi berbahan bola plastik di Taman Satwa Taru Jurug (TSTJ) Solo, Jawa Tengah, Rabu (29/12/2021). Selain sebagai daya tarik wisata bagi pengunjung, dekorasi tersebut dibuat untuk memeriahkan dan mendukung timnas sepak bola Indonesia pada ajang final Piala AFF 2020 di Singapura. | Foto: Antara/Maulana Surya
REPUBLIKA.CO.ID, SOLO -- Pedagang di Taman Satwa Taru Jurug (TSTJ) menolak digusur dan meminta audiensi kepada pihak pengelola TSTJ untuk menyampaikan aspirasi kepada Pemerintah Kota (Pemkot) Solo dan DPRD Kota Solo.
Pihak pedagang mengatakan masih ingin berjuang agar bisa tetap berdagang di TSTJ. Hal tersebut disebabkan sudah bertahun-tahun mereka berdagang dan mencari nafkah di tempat itu.
"Kita masih belum terima kesepakatan tetapi kami sudah diminta pindah dari sini. Kami masih ingin audiensi langsung dengan wali kota dan dewan (DPRD Kota Solo). Kami juga sudah 30-40 tahun di sini," kata Ketua Paguyuban Bakul Taman Jurug, Sarjuni, Jumat (23/9/2022).
Sarjuni mengaku sebelum TSTJ ditutup pada 1 September 2022 lalu pihaknya tidak mendapat pemberitahuan terlebih dahulu. Awalnya ia menduga setelah diperbaiki akan memompa pendapatan para pedagang. Namun sebaliknya, mereka malah mendapat kabar akan digusur.
"Kita tidak diberitahu sebelumnya (akan ditutup). Dikiranya //bakul// itu setelah dibangun akan meningkatkan ekonomi rakyat, ternyata malah digusur," katanya.
Sarjuni juga mengatakan para pedagang sudah membayar retribusi sesuai yang sudah ditentukan. Bahkan, ia mengatakan sudah membayar retribusi hingga bulan Desember 2022. "Bahkan kita sudah ditarik retribusi sampai Desember, masak awal September sudah ditutup," katanya.
Setelah para pedagang meminta audiensi, pihak pengelola malah akan mengembalikan uang retribusi. Namun, kami tetap menolak karena menurut kami bukan itu persoalan intinya. "Ibaratnya, kalau orang maling barang dikembalikan apa pidananya berhenti, kan tidak," katanya.
Namun, Sarjuni menjelaskan bahwa pihak pengelola juga memberikan pilihan untuk pindah di pasar tradisional. Seperti Pasar Pucangsawit, Gemblegan, dan Jebres. Sarjuni menilai itu juga bukan solusi soalnya kami ditempatkan di lantai atas yang notabene sepe pembeli. "Kita orang Jebres tahu betul, lantai atas itu ditinggal, kita ibarat dikubur. Kasian yang masih muda-muda membiayai sekolah atau hidup sehari-hari," ujarnya.