Jumat 23 Sep 2022 17:26 WIB

OTT Hakim Agung, Membuktikan MA Gagal menjadi Dewa Keadilan

Biaya penanganan perkara di pengadilan harus merogoh kocek yang sangat dalam.

Rep: Mabruroh/ Red: Agus Yulianto
Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar.
Foto: Antara/Wahyu Putro A
Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Hakim Agung Sudrajat Dimyati sebagai tersangka kasus suap. Selain Sudrajat masih ada sederet pejabat Mahkamah Agung (MA) lainnya yang ditangkap KPK karena kasus suap perkara di MA. 

Menurut Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, kejadian operasi tangkap tangan (OTT) KPK dan penetapan hakim agung (HA) Sudrajat Dimyati sebagai tersangka, menunjukkan pembenaran. Bahwa, biaya penanganan perkara di pengadilan harus merogoh kocek yang sangat dalam.

“Ini menunjukkan pembenaran indikasi bahwa biaya mengurus urusan di pengadilan itu memang berbiaya tinggi, selain ongkos perkara, fee advokat, maka harus ditambah biaya suap hakim supaya menang,” ujar Fickar dalam keterangan tertulisnya pada Republika, Jumat (23/9).

Fickar melanjutkan, keterlibatan hakim MA dalam kasus suap ini mengindikasikan juga lemahnya pola rekrutmen hakim agung oleh Komisi Yudisial (KY). Termasuk juga terputusnya pola pengawasan yang dilakukan KY, karena ternyata KY tidak bisa membina dan mengawasi hakim agung-hakim agung yang telah direkrutnya. 

“Perbaikan sistem peradilan yang memberikan gaji yang besar pada para Hakim, termasuk hakim agung telah gagal total, karena ternyata tidak cukup hanya dengan gaji besar saja, ternyata korupsi Hakim tetap jalan,” ujar Fickar. 

Fickar juga menyotori lemahnya kesadaran berbangsa dari para hakim agung. MA atau Hakim sebagai bagian lembaga yudikatif seharusnya dapat menjalankan fungsinya sebagai lembaga yudikatif yang menyelesaikan sengketa -sengketa yang ada di masyarakat Indonesia.

“Dengan peristiwa ini nampak para Hakim kesadaran berbangsanya sangat lemah,” kata dia.

Fickar mengibaratkan, hakim agung sebagai dewa keadilan, di mana sebagai puncak kekuasaan kehakiman tidak lagi tergiur dan memikirkan materi. Karena mereka sudah matang dan tua, seharusnya sebagai hakim agung mereka sudah tumbuh sebagai dewa keadilan yang mumpuni.

"Namun dengan kasus ini, membuktikan bahwa mereka gagal menjadi dewa keadilan," ucapnya.

Dengan peristiwa ini juga ternyata sisten pembuktian terbalik belum dilaksanakan dengan konsisten. Karena, tidak tergambar kekhawatiran para pejabat termasuk HA memiliki harta yang banyak yang perolehannya melawan hukum dengan pertanggung jawaban yang ketat, kewajiban melapor LHKPN tidak berefek apa-apa.

“Karena itu UU tentang perampasan aset menjadi sangat relevan untuk disahkan, agar harta -harta pejabat publik yang ilegal dapat dirampas oleh negara,” ucapnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement