Dubes Ukraina Ingatkan Mahasiswa tak Mudah Percaya Propaganda
Rep: my43/ Red: Fernan Rahadi
Duta Besar Ukraina untuk Indonesia, Vasyl Hamianin saat mengisi acara Ambassadorial Lecture tentang perang di Ukraina di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Jumat (23/9/2022). | Foto: UGM
REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Duta Besar Ukraina untuk Indonesia, Vasyl Hamianin, menyampaikan bahwa mahasiswa tidak boleh malas atau takut menggali suatu informasi dengan lebih dalam agar tidak disesatkan oleh propaganda ketika membaca sebuah laporan, artikel, ataupun mendengar penjelasan dari seorang pakar.
"Persoalan apa pun yang kalian amati, tolong gali lebih dalam. Diplomat adalah orang-orang yang tahu bagaimana menggali dan mengenali akar permasalahannya sehingga tidak mudah disesatkan. Perang saat ini tidak hanya perang senjata, tetapi juga perang propaganda," ucapnya saat mengisi acara Ambassadorial Lecture tentang perang di Ukraina di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Jumat (23/9/2022).
Propaganda, terangnya, selalu terdengar indah, menarik, dan persuasif, seolah sedang menyajikan fakta-fakta dan kebenaran. Namun jika masyarakat mau menggali sedikit lebih dalam, mereka akan menemukan bahwa hal tersebut adalah kebohongan.
Ia mengatakan, kondisi yang terjadi di Ukraina saat ini merupakan hal yang tidak dapat dibayangkan oleh banyak pihak, terutama bagi warga Ukraina sendiri. Agresi yang dilakukan oleh Rusia telah memicu serangkaian krisis, mulai dari krisis logistik, finansial, keamanan pangan, hingga diplomasi.
Untuk mengatasi agresi, diperlukan pemahaman mengenai latar belakang dan akar permasalahan atau alasan sesungguhnya dari situasi yang terjadi.
“Hanya dengan ini kita bisa menemukan, atau setidaknya mencoba menemukan cara untuk menyelesaikan persoalan dan mengeliminasi ancaman,” kata Vasyl.
Latar belakang perang yang terjadi di Ukraina, menurutnya bukan sesuatu yang bisa dijelaskan dalam satu atau dua jam. Diperlukan rangkaian pertemuan untuk mengulas situasi geopolitik dan sejarah panjang yang melatarbelakangi agresi Rusia.
Rusia dan Ukraina memiliki perbedaan mendasar dalam sejumlah hal, di antaranya terkait pembentukan negara dan ideologi. Ukraina tidak pernah memiliki kaisar atau raja, karena semua pemimpin dipilih oleh rakyat dan bisa diberhentikan oleh rakyat jika dianggap tidak menjalankan tanggung jawab dengan baik. Hal ini berpengaruh terhadap cara pandang masyarakat Ukraina terhadap diri sendiri, negara, dan realitas di sekitar mereka.
“Orang Ukraina adalah orang yang bebas. Tanah air adalah jiwa kami dan hidup kami, maka kami tidak akan menyerahkannya dengan mudah,” ungkapnya.
Vasyl memaparkan selama agresi Rusia, puluhan ribu kasus pelanggaran kemanusiaan telah tercatat dengan jumlah korban yang tidak sedikit, termasuk di antaranya 389 anak-anak yang menjadi korban meninggal dunia. Ratusan ribu infrastruktur hancur, dan sejumlah wilayah hingga saat ini masih dikuasai oleh pasukan Rusia. Ia pun menyayangkan bahwa Rusia tidak mendapatkan sanksi yang setimpal dengan tindakan yang telah dilakukan.
Ia juga menyampaikan bahwa agresi Rusia kemungkinan menjadi sebuah upaya untuk merekonstruksi sistem dunia yang mulai bergerak menjadi unipolar pasca runtuhnya Uni Soviet.
"Unipolar memang tidak baik, makanya kita butuh kekuatan tandingan. Tapi apakah kita mau nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia disaingi oleh kediktatoran dan otoritarianisme? Saya yakin tidak ada yang akan berkata ya,” kata Dubes.