Jumat 23 Sep 2022 21:15 WIB

Polisi Moral Iran dan Gejolak Kematian Mahsa Amini

Polisi moral di Iran wajibkan hijab, larang celana ketat hingga pakaian warna cerah

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Esthi Maharani
Lava Baker memegang jilbab dan plakat selama protes terhadap kematian Mahsa Amini Iran di Iran, di Lapangan Martir di pusat kota Beirut, Lebanon, Rabu, 21 September 2022. Protes meletus di seluruh Iran dalam beberapa hari terakhir setelah Amini , seorang wanita berusia 22 tahun, meninggal saat ditahan oleh polisi moral karena melanggar aturan berpakaian Islami yang diterapkan secara ketat di negara itu.
Foto: AP Photo/Bilal Hussein
Lava Baker memegang jilbab dan plakat selama protes terhadap kematian Mahsa Amini Iran di Iran, di Lapangan Martir di pusat kota Beirut, Lebanon, Rabu, 21 September 2022. Protes meletus di seluruh Iran dalam beberapa hari terakhir setelah Amini , seorang wanita berusia 22 tahun, meninggal saat ditahan oleh polisi moral karena melanggar aturan berpakaian Islami yang diterapkan secara ketat di negara itu.

REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN – Iran tengah menjadi sorotan dunia. Kematian Mahsa Amini, seorang perempuan berusia 22 tahun telah memantik gelombang demonstrasi di sana. Amini diduga tewas akibat dianiaya “polisi moral” Iran. Sebelumnya dia ditangkap karena tak mengenakan hijab yang dianggap ideal.

Amini ditangkap polisi moral Iran di Teheran pada 13 September lalu. Setelah ditangkap, Amini tiba-tiba dilarikan ke rumah sakit. Kepolisian Iran mengklaim, saat berada di tahanan, Amini mendadak mengalami masalah jantung. Amini dirawat dalam keadaan koma dan akhirnya meninggal pada 16 September.

Baca Juga

Polisi moral di Iran memberlakukan aturan berpakaian yang mengharuskan perempuan mengenakan hijab di depan umum. Polisi moral juga melarang celana ketat, jin robek, pakaian berwarna cerah, dan pakaian yang memperlihatkan lutut. Aturan berpakaian telah ada sejak revolusi Iran tahun 1979.

Menurut peneliti senior Human Rights Watch Divisi Timur Tengah dan Afrika Utara Sepehri Far mengatakan, polisi moral Iran adalah aparat penegak hukum dengan akses ke kekuasaan, senjata, dan pusat penahanan. Mereka juga memiliki kendali atas “pusat reedukasi” yang baru-baru ini diperkenalkan.

Pusat-pusat itu bertindak sebagai fasilitas penahanan. Perempuan, dan terkadang laki-laki Iran, ditahan di sana karena gagal mematuhi aturan negara tentang norma kesopanan. Di pusat reedukasi, tahanan perempuan biasanya diberikan kelas tentang Islam dan pentingnya pemakaian hijab. Setelah itu mereka akan diperintahkan menandatangani perjanjian untuk mematuhi peraturan pemerintah terkait tata busana sebelum dibebaskan.

“Akan sulit untuk menemukan rata-rata wanita Iran atau keluarga biasa yang tidak memiliki kisah interaksi dengan (polisi moral dan pusat reedukasi),” kata Sepehri Far, dikutip laman CNN.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Center for Human Rights Hadi Ghaemi mengungkapkan, anggota polisi moral kerap melakukan penahanan sewenang-wenang terhadap perempuan Iran yang tak mengenakan hijab. “Perempuan-perempuan itu kemudian diperlakukan seperti penjahat, dihukum karena pelanggaran mereka, difoto dan dipaksa untuk mengikuti kelas tentang cara memakai jilbab yang benar dan moralitas Islam,” ucapnya.

Merespons kematian Mahsa Amini, perempuan-perempuan Iran turut turun ke jalan dan bergabung dalam demonstrasi. Mereka membakar hijab beramai-ramai sebagai bentuk protes dan perlawanan. Sebagian dari mereka bahkan memotong rambutnya dan membagikan videonya di media sosial. Sedikitnya 17 orang sudah dilaporkan tewas akibat tindakan represif aparat keamanan Iran terhadap massa pengunjuk rasa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement