Sabtu 24 Sep 2022 22:51 WIB

Pengamat: Alokasi Subsidi dalam APBN Perlu Diarahkan ke Tujuan Produktif

Pengamat menyebut alokasi BBM subsidi harusnya mulai diarahkan ke energi terbarukan

Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Petugas menyalurkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) Bahan Bakar Minyak (BBM) kepada warga di Sasana Krida Karang Taruna (SKKT) Kelurahan Pondok Kopi, Jakarta. Para pengamat sepakat bahwa kebijakan penyesuaian harga BBM yang sudah resmi diberlakukan pemerintah serta upaya realokasi APBN memang sudah seharusnya dilakukan. Hal ini demi tujuan yang jauh lebih produktif daripada harus terus tertekan dan membahayakan perekonomian nasional.
Foto: Republika/Prayogi
Petugas menyalurkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) Bahan Bakar Minyak (BBM) kepada warga di Sasana Krida Karang Taruna (SKKT) Kelurahan Pondok Kopi, Jakarta. Para pengamat sepakat bahwa kebijakan penyesuaian harga BBM yang sudah resmi diberlakukan pemerintah serta upaya realokasi APBN memang sudah seharusnya dilakukan. Hal ini demi tujuan yang jauh lebih produktif daripada harus terus tertekan dan membahayakan perekonomian nasional.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para pengamat sepakat bahwa kebijakan penyesuaian harga BBM yang sudah resmi diberlakukan pemerintah serta upaya realokasi APBN memang sudah seharusnya dilakukan. Hal ini demi tujuan yang jauh lebih produktif daripada harus terus tertekan dan membahayakan perekonomian nasional. 

Sejauh ini pemerintah terus menggelontorkan subsidi untuk energi berbahan dasar fosil, yakni BBM bahkan hingga membenani APBN mencapai Rp 502 triliun. Padahal ternyata praktiknya di lapangan, subsidi BBM ini justru hanya menciptakan ketidakadilan karena 70 persen dinikmati oleh masyarakat mampu. 

Maka dari itu, Kepala BRIN, Prof Bambang Brodjonegoro menyatakan bahwa sebenarnya dana subsidi yang selama ini digelontorkan oleh pemerintah harus segera dialihkan.

Pengalihan dana subsidi tersebut, menurutnya akan sangat jauh lebih bermanfaat jika mulai digunakan untuk pemanfaatan energi bersih dan terbarukan. 

“Subsidi energi berbahan dasar fosil harus dikurangi dan diarahkan untuk energi bersih serta terbarukan. Perlu adanya dukungan dari pemerintah berupa insentif, untuk menarik pihak swasta dalam berinvestasi di energi bersih,” katanya pada Jumat (23/9) dalam sebuah diskusi daring. 

Lebih lanjut, terkait pemberian subsidi BBM yang justru sama sekali tidak tepat sasaran sebelumnya, Prof Bambang juga menambahkan supaya penggunaan APBN saat ini bisa dialihkan kepada hal yang jauh lebih produktif. 

“Sudah saatnya Indonesia menatap cara APBN produktif yang lebih baik. Bantuan harus bersifat tepat sasaran seperti ke sektor pendidikan, kesehatan, dan lainnya,” tambahnya. 

Sementara itu, dosen dan peneliti INDEF, Berly Martawardaya berpendapat bahwa subsidi BBM selama ini sangat melenceng dari fungsi distribusi dari APBN sendiri. 

“APBN dari fungsi distribusi adalah untuk melindungi masyarakat yang lemah,” tuturnya. 

Untuk itu, demi terus menjaga agar fungsi distribusi tersebut bisa berjalan dengan baik, maka dalam pemberian BLT BBM seperti yang belakangan ini tengah digencarkan oleh pemerintah, Berly mengungkap harus terus ditingkatkan akurasinya. 

“Fungsi distribusi APBN, BLT/Bansos harus meningkatkan akurasi,” pungkasnya. 

Pemerhati Isu Strategis dan Global, Prof Imron Cotan menyampaikan bahwa skema single identity number memang bisa menjadi salah satu solusi mengenai penyaluran bantalan sosial. 

“Bantuan sosial harus dipastikan tepat sasaran. Salah satunya bisa menggunakan Single Identity Number. Begitu ada penyelewengan maka akan segera terdeteksi. Dengan demikian, masyarakat dapat menerima manfaat secara tepat,” jelasnya. 

Sejatinya, kebijakan penyesuaian harga BBM disertai dengan penyaluran bantalan sosial oleh pemerintah menurutnya memang merupakan sebuah upaya dari pemerintah agar programnya benar-benar tepat sasaran bagi masyarakat yang membutuhkan. 

“Pemerintah membuat kebijakan penyesuaian harga BBM dengan bantuan sosial agar tersalurkan kepada Keluarga Penerima Manfaat (KPM) lebih tepat sasaran,” kata Prof Imron Cotan. 

Di sisi lain, Direktur Eksekutif SMRC, Sirojudin Abbas menyatakan bahwa dalam segala permasalahan yang menyangkut dengan BBM ini, sebenarnya masyarakat sangat percaya bahwa Presiden Jokowi mampu mengatasinya. 

“Masyarakat memiliki kepercayaan tinggi bahwa presiden dapat mengatasi masalah BBM. Kesadaran tentang krisis global cukup baik di tingkat masyarakat. Namun, masyarakat masyarakat memiliki kepercayaaan cukup tinggi terhadap kemampuan pemerintah,” ungkapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement