REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah pusat akan meminta kepala daerah mengaudit ulang data tenaga honorer di daerahnya masing-masing. Untuk memastikan data tersebut benar dan sesuai dengan kriteria yang ditentukan pemerintah, kepala daerah akan diminta menyertakan Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM) yang memiliki konsekuensi hukum.
"Kemenpan-RB akan kirim surat untuk melakukan audit ulang yang ditandatangani oleh kepala daerah dan sekretaris daerah untuk memberikan SPTJM. Jika data tidak benar, nanti akan punya konsekuensi hukum," ujar Menpan-RB, Abdullah Azwar Anas, Ahad (25/9/2022).
Dia menjelaskan, dalam prosesnya Kemenpan-RB akan meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mengawasi data-data tersebut supaya sesuai dengan syarat yang sudah ditentukan pemerintah. Jika data yang diusulkan kepala daerah selaku pejabat pembina kepegawaian (PPK) tidak sesuai dengan syarat yang ada, BPKP akan mengaudit data tersebut.
"Jika nanti yang diusulkan ternyata tidak seusai dengan surat yang kami kirim, nanti BPKP akan mengaudit dan itu akan ada konsekuensi hukum," jelas Anas.
Plt Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN), Bima Haria Wibisana mengatakan, tenaga honorer K2 yang ada di pangkalan data BKN saat ini ada 366.220 orang. Dari data yang ada itu, hanya 74.832 orang di antaranya yang didaftarkan kembali oleh kepala daerah ke pemerintah pusat.
"Ada selisih banyak. Mungkin mereka tidak ada lagi di sana, atau mungkin sudah meninggal atau sudah menjadi ASN. Itu perlu diverifikasi lagi seberapa besar sebetulnya sisa tenaga honorer K2 yang ada dalam database yang masih bekerja di masing-masing kabupaten," jelas dia.
Di samping itu, ada 963.699 orang tenaga honorer yang juga dilaporkan ke pemerintah pusat oleh pemerintah daerah. Data tersebut dinilai janggal karena jika melihat unit kerja yang ada, kebutuhan tenaga honorer hanya berkisar di angka 400 hingga 500 ribu saja.
"Banyak aduan ke kami. Aduannya, kami sudah menjadi honorer tiga, empat, lima tahun. Tapi tidak didaftarkan. Yang didaftarkan adalah orang-orang baru entah dari mana. Jadi yang sudah ada tidak didaftarkan, yang baru-baru masuk ke dalam database," kata Bima.
Selain itu, ada juga kasus lain. Salah satunya, pihaknya telah memperhitungkan tenaga honorer dan ASN yang dibutuhkan suatu unit kerja maksimal 50 orang saja. Tapi, tenaga honorer yang diusulkan mencapai hampir 160 orang. Kasus-kasus seperti itu Bima sebut tidak masuk akal dan itu banyak terjadi.
"Data-data ini akan kami kembalikan. Kemudian diverifikasi lagi dan dikembalikan kepada kami dengan SPTJM. Karena kami ingin data yang benar di sana dan data-data itulah yang kami nanti akan proses untuk mencari solusi bagaimana penyelesaiannya," terang Bima.