Ahad 25 Sep 2022 17:42 WIB

SETARA Intitute Kritisi Pembentukan Tim Nonyudisial Pelanggaran HAM Berat

Keppres tersebut dinilai berbahaya bagi penuntasan hukum pelanggaran HAM berat.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Ilham Tirta
Ketua Setara Institute Hendardi.
Foto: Republika/Rakhmawaty La'Lang
Ketua Setara Institute Hendardi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- SETARA Institute mengkritisi langkah Presiden Joko Widodo (Jokowi) atas penerbitan Keputusan Presiden (Keppres) 17/2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu. Ketua SETARA Institute, Hendarman Supandji menegaskan, Keppres tersebut cacat misi, inkonstitusional, dan berbahaya bagi pemajuan serta penuntasan hukum kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia.

Hendardi pun menilai, langkah itu menunjukkan pemahaman rendah pemerintah atas penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu. “Keppres ini bukanlah cara Jokowi mengambil tanggung jawab konstitusional dan kewajiban negara munantaskan pelanggaran HAM berat masa lalu. Tetapi, hanya sikap berpura-pura Jokowi dalam bertanggung jawab atas pelanggaran HAM berat masa lalu,” kata Hendardi dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Ahad (25/9/2022).

Baca Juga

SETARA Institute mengungkapkan beberapa cacat misi dalam Keppres 17/2022 tersebut, termasuk soal sikap Presiden Jokowi. Menurut dia, Jokowi pernah menyampaikan bahwa Keppres tersebut ditandatangani pada 16 Agustus 2022 dan diundangkan pada saat pidato kenegaraan. Faktanya, Keppres 17/2022 itu baru ditandatangani sepekan berikutnya pada 26 Agustus 2022.

Menurut Hendardi, cacat teknis tersebut pun menajamkan keyakinan publik tentang Keppres itu tak diterbitkan atas dasar kemauan presiden. Hendardi khawatir, Keppres itu cuma desakan dan kehendak oknum di lingkaran Jokowi yang diduga kuat terlibat dalam kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.

Menurut Hendardi, isi dalam Keppres 17/2022 itu semacam memberikan legitimasi dari pemerintah untuk membakukan cara-cara impunitas dan pemutihan hukum untuk para pelaku pelanggaran HAM berat di masa lalu. “Keppres ini menggambarkan kehendak pemutihan para pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu yang orang-orangnya ada di sekeliling Presiden Jokowi, yang diduga kuat terlibat dalam berbagai pelangagran HAM berat,” ujar dia.

SETARA Institute, kata Hendardi, menolak keras Keppres 17/2022 tersebut. Sebab, cara penyelesaian non yudisial yang diandalkan oleh Jokowi dalam penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, bertentangan dengan konstitusi tentang HAM itu sendiri.

Hendardi mengingatkan, mandat Undang-undang (UU) 26/2000 tentang Pengadilan HAM memerintahkan penyelenggara negara untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM dituntaskan lewat mekanisme persidangan atau yudisial. “Tidak ada ruang bagi Presiden untuk membelok-belokkan peristiwa pelanggaran HAM untuk diselesaikan dengan pendekatan nonyudisial. Bahwa UU HAM memerintahkan pelanggaran HAM diselesaikan melalui Pengadilan HAM,” ujar Hendardi.

Hendardi juga mengkritisi Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu yang terbentuk lewat Keppres 17/2022 tersebut, tak melalui mekanisme akuntabel. Karena salah satu anggota yang ditunjuk oleh pemerintah melalui Keppres tersebut adalah terduga kuat dan terlibat langsung sebagai pelaku pelanggaran HAM berat di Timor Timur.

“Dengan komposisi tim tersebut, langkah Presiden Jokowi mendapatkan legitimasi publik, dan pengakuan internasional tidak akan didapat. Tim tersebut hanya akan mencetak prestasi absurd bagi Presiden Jokowi yang berpura-pura mengambil tanggung jawab untuk menuntasan hukum kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu,” kata Hendardi.

Presiden Jokowi resmi mengundangkan Keppres 17/2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPHAM). Tim tersebut diketahui oleh Menko Polhukam Mahfud MD. Tim tersebut bertugas menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu lewat mekanisme di luar pengadilan.

Polanya, dengan merekomendasikan pemulihan bagi para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat yang direkomendasikan oleh Komnas HAM 2020. Dari rekomendasi Komnas HAM 2020, terdapat 13 kasus pelanggaran HAM berat yang terbagi dalam dua kategori.

Kasus pelanggaran HAM berat lama yang terjadi sebelum tahun 2000 sebanyak sembilan perkara. Dan pelanggaran HAM berat yang terjadi setelah tahun 2000 sebanyak empat perkara. Dalam Tim PPHAM tersebut juga beranggotakan Menko PMK, Menkum HAM, Mensos, dan juga Kepala Staf Kepresidenan.

Ketua Pelaksana Harian mendaulat Makarim Wibisono dan wakilnya Ifdhal Kasim, serta Suparman Marzuki sebagai sekretaris. Para anggota PPHAM tersebut terdiri dari Apolo Safonpo, Mustafa Abu Bakar, Harkristuti Harkrisnowo, Asad Said Ali, Kiki Syahnakri, Zainal Arifin Mochtar, Akhmad Muzakki, Komaruddin Hidaat, dan Rahayu.

Adapun, 13 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu berdasarkan rekomendasi Komnas HAM 2020 adalah Penembakan Misterius (Petrus) 1982-1985, Talangsari-Lampung 1989, Geudong-Aceh 1990-1999. Peristiwa penghilangan paksa 1997-1998, Pembunuhan Massal Banyuwangi 1998-1999, Semanggi I dan Semanggi II 1998. Selanjutnya, Kerusuhan Rasial 1998 dan Simpang Kraft-Aceh 1999.

Tiga kasus pelanggaran HAM berat lainnya adalah Peristiwa Wasior 2001, Wamena 2003, dan Paniai Berdarah 2014. Saat ini, kasus Paniai sedang bersidang di Makassar.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement