Senin 26 Sep 2022 00:15 WIB

Meski Punya Wewenang, Mengapa MK Belum Pernah Bubarkan Partai Politik?

Undang-undang memberikan MK kewenangan untuk membubarkan partai politik

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Nashih Nashrullah
Ilustrasi bendera partai politik. Undang-undang memberikan MK kewenangan untuk membubarkan partai politik.
Foto: Prayogi/Republika.
Ilustrasi bendera partai politik. Undang-undang memberikan MK kewenangan untuk membubarkan partai politik.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Aswanto mengungkapkan lembaganya selama ini belum pernah mengetok putusan pembubaran partai politik (parpol). Padahal MK memiliki kuasa untuk melakukan hal tersebut.

Aswanto menyampaikan hal itu dalam Webinar Hukum Nasional-Constitutional Law Festival 2022 (CLFEST 2022) pada Sabtu (24/9/2022). Aswanto mengakui kewenangan putusan pembubaran parpol masih mengalami hambatan.

Baca Juga

"Masih banyak aspek yang harus dikaji dari kewenangan tersebut, baik tinjauan substantif atas alasan-alasan pembubaran partai politik maupun telaah lebih komprehensif atas prosedur hukum acara dalam pembubaran partai politik," kata Aswanto dalam keterangan pers yang dikutip pada Ahad (25/9/2022).

Aswanto menyebut UUD 1945 telah menyediakan jalan konstitusional untuk mengajukan permohonan pembubaran parpol kepada MK. Tetapi jalan ini hanya bisa diajukan oleh pemerintah.

"Tidak seperti dalam kasus judicial review yang boleh diajukan seluruh warga negara dari segala lapisan dapat mengajukan pengujian undang-undang ke MK bila ada alasan-alasan untuk itu," ungkap Aswanto.

Aswanto menjelaskan akibat hukum ikutan apabila putusan pembubaran parpol dijatuhkan MK. Sebab kewenangan pembubaran parpol berkaitan dengan eksistensi parpol sebagai institusi demokrasi penyumbang penghuni kursi eksekutif dan legislatif.

"Tidak ada pemilihan umum tanpa partai politik. Pernyataan ini tentu tidak dimaksudkan untuk menegasi hak calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah atau pun fakta bahwa terdapat negara-negara yang tidak memiliki partai politik," ujar Aswanto.

Melalui keberadaan parpol, rakyat dapat mewujudkan kebebasan untuk berkumpul dan berserikat. Melalui keikutsertaan parpol dalam pemilu atau pilkada, rakyat dapat mengejawantahkan hak untuk memilih dan hak untuk dipilih.

"Artinya, partai politik yang merupakan peserta pemilu memainkan peran penting dalam mewadahi perwujudan pemenuhan hak dan kebebasan warga negara untuk berpartisipasi dalam urusan pemerintahan melalui pemilu," ucap Aswanto.

Oleh karena itu, Aswanto menegaskan pembubaran parpol harus memiliki alasan-alasan substantif yang melampaui alasan hak dan kebebasan demokrasi. Sebab parpol menjadi wujud dari hak konstitusional dan kebebasan warga negara dalam berekspresi, berpendapat, berkumpul, berserikat dan berorganisasi.

Dalam rezim hukum Hak Asasi Manusia, hal demikian dapat dikategorikan sebagai pembatasan atas Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana diatur dalam Pasal 28J UUD 1945.

Baca juga: Doa Mualaf Jodik Liwoso Mantan Misionaris: Jika Islam Benar Dekatkanlah   

Aswanto menerangkan dalam Pasal 68 UU MK, bahwa pembubaran parpol diajukan oleh pemerintah dengan dalil ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan parpol yang bersangkutan, dianggap bertentangan dengan UUD 1945. 

Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) No. 12 Tahun 2008 tentang Prosedur Beracara dalam Pembubaran Partai Politik merinci lagi alasan pembubaran ini sebagaimana diatur dalam Pasal 2 huruf a dan huruf b.

Bila memperhatikan ketentuan Pasal 2 huruf b terdapat semacam perluasan atas ketentuan Pasal 68 ayat (2) UU MK khususnya yang menyangkut kegiatan partai politik.

Dalam Pasal 2 huruf b PMK 12/2008, jelas Aswanto, disebutkan bahwa alasan pembubaran partai politik adalah apabila kegiatan partai politik bertentangan dengan UUD RI 1945 atau akibat yang ditimbulkannya bertentangan dengan UUD RI 1945. Dalam rumusan ini terdapat frasa “atau akibat yang ditimbulkannya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945”.

Dalam pasal 68 ayat (2) rumusan ini tidak ditemukan. Pasal 2 huruf a dan huruf b juga bersifat kumulatif alternatif yang dapat dilihat dalam penggunaan frasa dan/atau dalam huruf a yang juga tampak berbeda dengan Pasal 68 ayat (2) UU MK yang hanya menggunakan kata “dan”.

"Artinya, ketentuan normatif ini merupakan salah satu aspek yang dapat dikaji secara kritis untuk memberikan masukan dalam penyempurnaan pranata hukum pembubaran parpol," ucap Aswanto. 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement