Senin 26 Sep 2022 14:36 WIB

Ribuan Ton Buah Impor Tertahan di Pelabuhan Akibat Masalah RIPH

Kerugian yang dialami importir diperkirakan mencapai Rp 8 miliar.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Nidia Zuraya
Seorang pedagang menata berbagai jenis buah impor (ilustrasi).
Foto: Antara/Nyoman Budhiana
Seorang pedagang menata berbagai jenis buah impor (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebanyak 1.447 ton buah-buahan impor senilai Rp 31,5 miliar tertahan di pelabuhan akibat disharmoni regulasi importasi khususnya mengenai rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH). Ombudsman pun meminta pemerintah segera melakukan harmonisasi regulasi karena berdampak buruk terhadap tata niaga ekspor-impor.

Anggota Ombudsman, Yeka Hendra Fatika, menjelaskan, kasus tersebut semula dilaporkan pada 9 September 2022 lalu. Kemudian, Ombudsman menindaklanjuti per 14 Setepmber 2022, da tercatat kerugian yang dialami pelaku usaha mencapai Rp 3,2 miliar akibat adanya penumpukan biaya penyimpanan, termasuk listrik.

Baca Juga

"Kerugian per 22 September 2022, diperkirakan mencapai Rp 8 miliar. Jadi ini akan sangat tidak elok bagi pemerintah untuk tugas pelayanan publik ketika pada akhirnya merugikan pelaku usaha," kata Yeka dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (26/9/2022).

Ia memaparkan, pangkal masalah dari tertahannya buah impor itu lantaran pelaku usaha terkait belum mengantongi Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) dari Kementan. Sementara di saat bersamaan, importir telah mengantongi Surat Persetujuan Impor (SPI) dari Kemendag.

Berdasarkan pendalaman Ombudsman, Kemendag dapat menerbitkan SPI tanpa menunggu adanya RIPH sebagai respons ketentuan dalam UU Cipta Kerja tentang kebijakan impor produk hortikultura dengan menerbitkan Permendag Nomor 20 Tahun 2021 jo Permendag 25 Tahun 2022.

"Sementara, Kementan belum merespons ketentuan UU Cipta Kerja tentang kebijakan impor produk hortikultura," kata Yeka. Hal itu menimbulkan adanya disharmoni peraturan pelaksana rekomendasi impor dalam menindaklanjuti UU Cipta Kerja.

Yeka menegaskan, dampak dari disharmoni peraturan perundang-undangan mengakibatkan terjadinya perbedaan penafsiran dalam pelaksanaannya, timbulnya ketidakpastian hukum, peraturan tidak efektif dan adanya disfungsi hukum.

Atas persoalan itu, pihaknya pun meminta Kementan agar segera melakukan pengeluaran barang impor tersebut. Namun, harus didahului dengan proses pengujian di laboratorium guna memastikan keamanan pangan sebagai solusi bersyarat dari Kementerian Pertanian.

Yeka menuturkan, barang tersebut telah diproses sejak 22 September 2022 lalu. "Per hari Sabtu kemarin, sudah terkonfirmasi bahwa uji lab sudah dilakukan oleh Badan Karantina Pertanian. Hari ini kami akan melakukan sidak kembali ke pelabuhan," ujarnya.

Direktur Jenderal Hortikultura, Kementan, Prihasto Setyanto, mengatakan, siap melakukan harmonisiasi peraturan. Namun, ia mengingatkan, RIPH sangat penting untuk produk impor. Bukan hanya dari sisi kuantitas, tapi juga keamanan pangan dan aspek perlindungan petani sebagai produsen lokal.

Ia menyebut, importir buah-buahan yang sempat tertahan saat ini pun telah dalam proses pengurusan RIPH. Kementan telah membuka blokir yang sebelumnya dilakukan sehingga produk buah tersebut bisa dilepas ke pasar setelah rampung dalam proses uji laboratorium.

"Prinsipnya Kementan tidak ingin hal seperti ini terjadi. Jika dilihat dari data kami, yang mematuhi RIPH jauh lebih banyak daripada yang tidak patuh. Namun, kita harus lihat semuanya karena ini bagian dari masyarakat Indonesia yang harus dilindungi," ujar dia.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement