Senin 26 Sep 2022 15:58 WIB

Komnas HAM Duga Mutilator Kasus Mimika Beraksi Lebih dari Sekali

Komnas HAM berupaya sidang mutilasi Mimika dilakukan secara pengadilan koneksitas.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Indira Rezkisari
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik (tengah), Anggota Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara (kedua kiri) Anggota Komisioner Komnas HAM Mohammad Choirul Anam (kiri) dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Papua, Jhon NR Gobay (kedua kanan) saat memberikan keterangan pers terkait kasus-kasus warga Papua di Gedung Komnas HAM Jakarta, Senin (26/9/2022). Pertemuan tersebut membahas kasus di Papua antara lain kasus mutilasi melibatkan prajurit TNI dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Gubernur Papua, Lukas Enembe sebagai tersangka .
Foto: ANTARA/Reno Esnir
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik (tengah), Anggota Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara (kedua kiri) Anggota Komisioner Komnas HAM Mohammad Choirul Anam (kiri) dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Papua, Jhon NR Gobay (kedua kanan) saat memberikan keterangan pers terkait kasus-kasus warga Papua di Gedung Komnas HAM Jakarta, Senin (26/9/2022). Pertemuan tersebut membahas kasus di Papua antara lain kasus mutilasi melibatkan prajurit TNI dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Gubernur Papua, Lukas Enembe sebagai tersangka .

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terus menyelidiki kasus mutilasi terhadap 4 warga sipil di Kabupaten Mimika pada 22 Agustus 2022. Komnas HAM menduga kasus mutilasi itu bukan yang pertama dilakukan pelaku.

"Terkait kasus mutilasi, itu memang satu. Kami sedang mendalami potensi mutilasi di tanggal 22 Agustus itu apakah mutilasi pertama atau bukan," kata Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam kepada wartawan, Senin (26/9/2022).

Baca Juga

Tim Komnas HAM punya dugaan para pelaku mutilasi di Mimika pernah melakukan hal itu sebelumnya. "Kami sedang mendalami itu. Karena dugaan kami itu bukan mutilasi yang pertama yang dilakukan oleh pelaku yang sama," lanjut Anam.

Oleh karena itu, Komnas HAM berupaya agar sidang kasus itu dilakukan pengadilan koneksitas demi azas keadilan bagi korban. Ia membantah segala hambatan penyelenggaraan pengadilan koneksitas misalnya tidak ada infrastrukturnya dan berdurasi panjang.

"Saya kira ini soal politik saja, political will saja. Mau atau tidak," ujar Anam.

Selain itu, Komnas HAM memandang Kejaksaan Agung bisa meminta pengadilan koneksitas. Komnas HAM tak yakin kasus ini tuntas kalau digelar bukan lewat pengadilan koneksitas. Ia optimistos sidang kasus ini baru bisa berjalan adil bila digelar pengadilan koneksitas.

"Masak pelaku yang di sipil diurusi polisi di pengadilan umum, yang satunya di pengadilan militer. Yang satunya bisa dibuka, yang satunya susah diakses misalnya, tidak kayak begitu dinamika. Oleh karenanya biar sama-sama bisa diakses oleh masyarakat ya harus pengadilan koneksitas. Itu menurut saya jalan keluar yang rasional dan make sense saat ini dilakukan," ucap Anam.

Diketahui, total tersangka dalam kasus itu sebanyak 10 orang. Sembilan orang tersangka kini telah ditahan oleh pihak kepolisian serta TNI Angkatan Darat. Tiga tersangka warga sipil ditahan di Markas Polres Mimika. Sedangkan enam tersangka yang merupakan personel Brigif Para Raider 20/Kostrad ditahan di Subdenpom XVII/Cenderawasih. Dari enam tersangka personel TNI AD, dua di antaranya merupakan perwira. Polda Papua masih memburu satu orang tersangka yang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) itu berinisial R, yang merupakan warga sipil.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement