REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Patokan harga minyak internasional, Brent, turun hingga ke bawah 85 dolar AS per barel untuk pertama kalinya sejak Januari 2022 pada Senin (26/9/2022). Penurunan tajam ini didorong oleh kekhawatiran akan perlambatan ekonomi global.
Bank-bank sentral di seluruh dunia telah menaikkan suku bunga untuk meredam inflasi, yang semakin menekan permintaan minyak. Pada saat yang sama, invasi Rusia ke Ukraina dan pembatasan perbatasan Covid-19 China telah menghancurkan prospek pasokan dan permintaan global.
Dilansir Bloomberg, Brent turun menjadi 84,83 per barel pada 7.19 pagi di London. Sementara, penurunan Brent terjadi setelah West Texas Intermediate membukukan kerugian mingguan terpanjang tahun ini.
Penurunan harga minyak ini diamini menteri Keuangan Sri Mulyani. Pada Juli 2022, harga minyak berada level 125 dolar AS per barel dan saat ini di bawah 90 dolar AS per barel.
“Setiap kali terjadi statement yang terjadi antara Rusia dengan Eropa pasti akan menimbulkan dampak sentimen terhadap harga dari energi. Harga minyak menurun tajam, bahkan lebih dari 40 persen,” ujarnya saat konferensi pers APBN KiTA, Senin.
Menurutnya komoditas lain yang ikut mengalami penurunan antara lain gas dari sebelumnya 9,33 dolar AS/MMBtu menjadi 7,87 dolar AS per MMBtu, crude palm oil (CPO) juga mengalami penurunan dari 1.779,7 dolar AS per ton menjadi 821,8 dolar AS per ton.
Sedangkan harga komoditas batubara mengalami kenaikan 441,9 dolar AS MT. Adapun kondisi harga komoditas yang berfluktuasi tentu berpengaruh terhadap kondisi inflasi di seluruh dunia.
"Berbagai negara inflasinya persistently masih tinggi. Artinya, seperti Inggris, Amerika, dan Eropa sekarang mereka terbiasa melihat inflasi pada level di atas delapan persen," ucapnya.
Bahkan, inflasi di Inggris sebesar 9,9 persen dan Eropa sebesar 9,1 persen. Angka inflasi tersebut masih akan naik, memasuki musim dingin.
"Memasuki winter kebutuhan energi naik, namun pasokan menjadi terkendala karena perang," ucapnya.
Namun Sri Mulyani mengakui sejumlah negara sudah berhasil menangani tingginya angka inflasi dengan menaikkan suku bunga acuan dan melakukan pengetatan likuiditas. Misalnya negara Amerika Serikat yang sudah menaikkan suku bunga acuan beberapa kali sehingga angka inflasi turun ke level 8,3 persen.
"Kenaikan suku bunga bank sentral di negara maju cukup cepat dan ekstrim dan memukul pertumbuhan negara-negara tersebut," ucapnya.